PERISA YUSMAR YUSUF

Hutan Kita

Seni Budaya | Minggu, 18 Oktober 2015 - 00:46 WIB

MENGAPA hutan? Karena di dalamnya bersarang sejumlah kiasan. Mengapa hutan? Karena tersangkut segala ihwal. Hutan lebih dulu hadir sebelum kita zahir. Di dalam hutan, segala hewan berlabuh dan diajar menjadi ternak. Di dalam hutan segala mitos merawat diri, terhidang. Di dalam hutan segala mimpi ekonomi terjaga. Di dalam hutan, sistem pertahanan sebuah bangsa terbina. Dengan hutan, manusia membangun dunia dan mimpi tentang kelengkapan hidup, kemudian diuli menjadi acuan adat. Segala tamsil, segala umpama, segala kias, dan segala sampiran menjelaskan hutan sebagai gudang ungkapan nan kaya selain samudera.

Dalam hutan, kita mendengar segala nada dari segala sumber bebunyian. Dalam hutan, bangunan mitos dan Tuhan yang mendebar juga berdenyar. Dalam hutan segala mimpi masa lalu dan mimpi masa depan bersatu dalam “diam”, lalu senyap. Namun, hutan di tangan kapitalis tak lebih dari lipatan dan lembar. Hutan jadi mainan cukong, hutan jadi mainan polisi, hutan jadi mainan politisi. Lalu ada menteri yang dihajat untuk mengurus hutan. Namun, hutan kian hancur. Ada negeri-negeri nun jauh di benua lain, tanpa menteri yang mengurus ihwal hutan, malah hutan kian rimbun. Di negeri yang punya menteri ihwal urus hutan, malah hutan bisa menjadi jebakan. Hutan dah berubah segaris dengan kehidupan yang berbuncah. Manusia bertambah, hutan bergeser makin jauh di ujung kampung, dan mencari ujung-ujung yang baru lagi.

Baca Juga :"Jaga Kelestarian dan Nilai-Nilai Budaya Melayu"

Dengan hutan, manusia membangun kota dan pencakar langit. Dengan hutan, orang tempatan terpelanting dan dilempar di ujung peradaban, seakan menumpang hidup di tanah orang. Lalu para pendatang dalam jumlah kepemilikan lahan yang kecil, sekedar mencari hidup, dipersalah. Mereka-mereka yang di atas mempersalahkan para pendatang, kok menebang, kok membakar. Aras kesadaran kita pun tersentak; bahwa kita sedang diadu-adu antara pendatang dan orang tempatan. Dalam kisah hutan, tak diperlukan pertentangan antara pendatang dan tempatan, jika mereka hanya untuk menyelamatkan hidup. Namun, yang dipersoalkan adalah para cukong dan para pemilik lahan dengan luasan di atas 100 Ha. Mereka bisa menggusur hutan lindung, lalu menanam dan tumbuh. Tanaman produksi berbasis kebun ini, khusus para cukong, tidak diganggu. Namun, tanaman rakyat diganggu dan ditebang.

Lalu pemerintah ini hadir untuk kepentingan siapa? Untuk para cukong? Atau untuk dan demi rakyat. Hari-hari kita berbicara dengan nestapa rakyat kecil. Dan kita pun bagian dari rakyat kecil itu. Kita terlahir di tengah-tengah suasana serba minus rakyat kecil itu. Kepompong rakyat kecil tempat kita keluar dan dibesarkan itu, belum berjarak demikian jauh dalam garis masa lalu. Rakyat kecil dan miskin itu, sejatinya belum begitu jauh dengan diri kita hari ini. Jika ditarik garis datar ke kiri atau ke kanan; maka ada sepupu kita yang terbelit oleh kemiskinan berjenjang dan berjenang. Di tarik pula garis tegak vertikal, maka ada keponakan dan paman kita yang masih dibelit oleh sabuk kemiskinan yang menyayat.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook