Hutan dan kekinian, juga sebuah persoalan rumit. Hutan dengan segala status itu menyajikan suasana cul-de-sac, bagi rakyat, bagi pemerintah daerah yang ingin membangun. Status hutan yang dikuasai oleh perusahaan berbasis ekonomi hutan, yang kemudian secara “gelap” berubah sontak menjadi kebun-kebun rakyat, menambah rumit statusnya ketika kita hendak membangun jalan, membangun ruas-ruas transportasi berjarak pendek maupun garis panjang dan mega. Pembangunan highway atau toll road, membangun jalan poros, jalan lintas antar kabupaten-kota, jalan lingkar kota besar, akan berdepan dengan kenyataan bernama status hutan. Dalam peta tata ruang nasional, negeri kita bernama Riau ini berada dalam status serba hutan. Kampung-kampung yang kita bangun berabad-abad, tempat orang mengolah rindu keindonesiaan itu, rupanya berada dalam hutan yang lebat dan tak berubah. Seakan di sini tiada peradaban, tiada manusia yang bergerak dan kehidupan.
Dari kampung-kampung kemudian menjelma menjadi kota. Dari kota kecil berubah dalam jelmaan kota besar dan metropolitan. Lalu Indonesia dengan perpanjangan mata dan telinganya bernama menteri kehutanan sama sekali tak dapat melihat kenyataan bergerak dan berubah dalam dimensi serba progresif itu. Di sini ada kawasan pabrik, ada kawasan industri, pendukung industri, pergudangan, kawasan bisnis, perkantoran dan pemerintahan sejalan dengan pemekaran wilayah adminsitratif. Perkembangan cepat dan serba lekas itu, seakan tak ada artinya bagi manajemen dengan hati yang “mati”.
Asas sikresi, membei ampuan kepada kepentingan rakyat dan orang banyak, ketika suatu perundangan demikian kaku menerjemah kenyataan bergerak dan berubah itu. Kepentingan dan demi asas penyejahteraan rakyat, tentu lebih dikedepankan, ketimbang kita berpaut pada perundangan yang kaku dan membunuh kepentingan orang banyak. Apatah lagi kepentingan untuk menghapus kemiskinan rakyat Indonesia. Namun, hutan di Indonesia, seakan berbicara lain. Hutan tetap hutan, walau kenyataan di lapangan, sebatang kayu hutan pun tak bisa ditemui lagi sebagai gejala tumbuhan. Sebab, segala tumbuhan itu telah berganti oleh serangkaian tanaman, alias telah diolah menjadi kebun. Di sini ada manusia dengan kebudayaan yang bergerak progresif sejalan dengan percepatan zaman.
Hutan dan kita, tak lebih dari akal-akalan orang singkat fikir, dangkal rasa dan ketiadaan rencana mengenai masa depan yang bertujuan untuk kehidupan yang berbahagia kepada mereka yang dibelit nestapa. Hutan dan kita di negeri ini ialah serumpun ironi yang tak terperi oleh akal sehat. Karena yang mengurus ihwal ini, berada dalam “akal” yang tak berapa sehat. Hutan dan kita, hanya menunjukkan bahwa Negara ini memang rapuh ketika berdepan dengan serombongan cukong.***