Sehingga, lanjut Ahmad Dahlan dalam setiap majelis dan acara, dia selalu menyampaikan pantun ketika memberikan sambutan. Pantun-pantun itu kemudian dihimpun menjadi sebuah buku yang diberi tajuk Mengembang Amanah dengan Pantun Melayu. Buku yang memuat lebih kurang 900 buah pantun itu, diakui Ahmad Dahlan terinspirasi dari karya-karya Tenas Effendy.
Tak sampai di situ, karena “terinveksi virus” mendalami sejarah dan budaya Melayu dari almarhum, Ahmad Dahlan bahkan kemudian menghasilkan sebuah buku setebal 665 halaman bertajuk Sejarah Melayu. “Secara hayati, Tenas Effendy boleh meninggalkan kita. Tapi keteladanan, gagasan-gagasan dan pikiran-pikiran beliau tetap hidup sepanjang masa sehingga pantas dikatakan Tak Tenas Hilang di Dunia,” ujarnya mantap.
Pembawa Pesan
Dalam seminar berikutnya yang diadakan di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unilak, seniman Taufik Ikram Jamil selaku narasumber mengatakan di hadapan mahasiswa-mahasiswi bahwa Tenas Effendy merupakan sosok pembawa pesan. Pesan itu kemudian yang diterima dan sekaligus mempengaruhi pembaca setidaknya menjadi tahu terhadap sesuatu.
Salah satu pesan itu disebutkan Taufik Ikram Jamil adalah berkaitan dengan politik. Dalam kesempatan itu, memang TIJ sapaan akrabnya memang menganalisa buku Tunjuk Ajar Melayu karya Tenas Effendy dengan menggunakan perspektif ilmu komunikasi politik. Dan apa yang disampaikannya dikemas dalam sebuah tulisannya berjudul “Kontekstuan Melayu-Komunikasi Politik Tenas Effendy”.
Politik yang dimaksudkan dalam analisanya adalah usaha menggapai kehidupan yang baik. Sehingga dikaitkannya pula dengan hakikat semiotik. “Paparan saya kiranya dapat dipahami sebagai pemaknaan tanda dengan muatan politik yakni usaha bersama menuju kebaikan bersama yang ditelusuri dalam kitab Tunjuk Ajar Melayu karya Tenas Effendy,” jelasnya.
Pesan Tunjuk Ajar Melayu, lanjut TIJ jelas dilandasi oleh kebudayaan
Melayu yang sebagaimana banyak pengalaman budaya lain, bahkan sejarah sastra sendiri, didominasi oleh politik. Maka muncullah istilah budaya politik yang merupakan sikap individu terhadap peranan yang dapat dimainkan dalam
sistem politik. “Kontekstual Melayu dalam karya Tenas Effendy itu sendiri terletak pada dua hal, yakni pertama, pemikiran budaya khususnya sastra antarmasa dan politik pra dan pasca NKRI,” tutupnya.(fed)