RANGGI

Hutan Larangan

Seni Budaya | Minggu, 14 Juni 2020 - 11:23 WIB

Hutan Larangan

(RIAUPOS.CO) - HUTAN larangan memang terkenal di Kabupaten Kampar. Hampir di  setiap desa memiliki hutan larangan atau yang dikenal juga dengan hutan adat. Di Kampar Kiri Hulu, hutan larangan juga banyak ditemukan. Hutan ini dikelola oleh masing-masing suku yang ada di desa tersebut, meski tidak semua suku memilikinya. Masing-masing suku juga mengelolanya dengan cara yang berbeda. Salah satunya Suku Bendang di Desa Pangkalan Serai. Suku ini menjaga hutannya sedemikian rupa sehingga masih terjaga utuh hingga sekarang.

Tidak sedikit, hutan larangan milik Suku Bendang ini seluas  200 hektare. Letaknya cukup jauh dari kampung, tepatnya di tepian Sungai Kunadi. Untuk sampai ke sana juga perlu waktu beberapa jam karena hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Hutan ini dibiarkan begitu saja.  Lebat dan sangat rimbun. Masih asli dan asri. Pohon-pohon besar berbagai jenis tumbuh di sini. Jarang pula masyarakat yang datang, apalagi menebang. Sangat  dilarang. Kondisi hutan larangan ini dibeberkan Tarmizi, tokoh masyarakat Desa Pangkalan Serai.

Baca Juga : Umbu, Humba, Wabah

Selain pohon-pohon besar, tanaman liar dan langka juga banyak tumbuh di sini. Layaknya hutan tropis, pohon-pohon yang hidup di hutan tropis lainnya juga tumbuh di sini. Kayu-kayu besar berkualitas tinggi seperti kulim, kempas, trembesi, klakok, bahkan gaharu, juga banyak tumbuh di sini. Kayu-kayu ini tidak akan pernah tercabut dari akarnya. Terjaga secara adat dan kesukuan.

Terjaganya hutan larangan ini secara baik, juga berpengaruh kepada kehidupan satwa yang ada di dalamnya. Tak heran jika di sini masih ditemukan banyak hewan langka seperti  burung merak, rangkong, gagak, enggang harimau dan masih banyak lainnya. Apalagi hewan lain seperti ular, monyet, siamang, katak daun, dan berbagai jenis burung lainnya. Masih banyak dan hidup dengan bebas tanpa ada yang mengganggu.  

Tumbuhan kecil lainnya juga hidup  dengan subur dan liar. Lumut dengan berbagai jenis lumut, jamur, bangsa pakis bahkan anggrek hutan juga masih ada. Jenis buah hutan seperti nangka hutan, durian hutan, rambutan hutan dan masih banyak lainnya, dipastikan juga ada di tempat ini. Hutan lebat yang sangat hijau dan terjaga ini menjadi kebanggaan Suku Bendang.

Keragaman flora dan fauna di hutan larangan ini dijelaskan tokoh masyarakat Suku Bendang, di Desa  Pangkalan Serai. Katanya, di sebagian ruang yang lapang di tengah hutan ini, tersapu bersih dalam bentuk serupa setengah lingkaran. Ini adalah bekas sayap burung merak yang menyapu-nyapukan  sayapnya ke tanah. Bahkan, banyak juga bulu-bulu sayap yang lepas ditemukan masyarakat saat datang ke sana untuk mencari kayu bakar atau makanan hutan lainnya.

Ditebang Hanya untuk Rumah Baru

Sesuai dengan namanya; hutan larangan, maka hutan ini dilarang untuk diganggu. Pohon-pohonnya tidak boleh ditebang. Hanya ada satu cara agar masyarakat bisa mengambil atau memanfaatkan kayu tersebut, yaitu masyarakat yang hanya bersuku Bendang. Masyarakat itu kemudian baru menikah dan memerlukan rumah. Maka, masyarakat atau warga bersangkutan boleh mengambil kayu tersebut. Itu pun hanya secukupnya saja.

Selain untuk rumah, kayu-kayu dari hutan larangan dilarang keras untuk diambil. Hal ini diatur dalam peraturan Suku Bendang yang sudah ada sejak turun temurun, sejak nenek moyang hingga saat ini. Sudah berpuluh-puluh tahun lamanya. Jika dilanggar atau ada masyarakat yang menebang kayu secara diam-diam atau sembarangan, hukum adat Suku Bendang akan langsung berperan. Ninik mamaklah yang akan maju terlebih dahulu. Warga yang bersangkutan dipanggil dan diberikan hukuman sesuai kesepakatan ninik mamak.

Bendang, maka setiap warga yang baru menikah dan memerlukan kayu untuk rumah, akan dibantu bersama-sama. Masyarakat lain akan turun membantu dan bergotongroyong menebang kayu di hutan untuk warga bersangkutan. Termasuk mulai dari memilih kayu yang bagus, menebangnya, memotong dan mengangkutnya, semua dilakukan secara bergotongroyong. Tapi, warga bersangkutan juga dibolehkan mengambil kayu sendiri di hutan tersebut bersama keluarganya, bukan dengan masyarakat. Tergantung kondisi dan kemampuan warga terkait.

Kayu itu pun sama-sama diolah, dibelah dan ditegakkan menjadi rumah. Sempurna tegak sebagai rumah yang layak dihuni. Tidak ada bayar-membayar. Semua dilakukan secara sukarela dan bergotongroyong. Tuan rumah atau pihak keluarga yang baru menikah dan mendirikan rumah hanya menyediakan makanan dan minuman untuk warga yang bergotongroyong. Begitu juga dengan minuman dan kue seadanya.

Tidak cukup satu hari, pembangunan rumah secara bergotongroyong ini dilakukan hingga berhari-hari, bahkan berminggu. Tergantung besarnya rumah dan waktu yang dimiliki warga. Warga boleh datang menyesuaikan dengan waktu kerjanya. Tapi, biasanya, warga selalu menyediakan waktu untuk menyelesaikan pembangunan rumah itu sampai tuntas sehingga tidak terlalu memerlukan waktu yang lama.

Manfaatkan Sungai sebagai Sumber Lauk

Masyarakat yang tinggal di desa-desa di sepanjang Sungai Subayang memiliki kreatifitas tinggi. Bermula dari apa adanya, memanfaatkan sungai dan alam untuk keberlangsungan hidup keluarga dan tidak ingin membiarkan yang kecil tak berguna, maka masyarakat membuat satu makanan tradisi. Makanan ini sudah ada sejak nenek moyang mereka, turun temurun. Dari tahun ke tahun, dari zaman ke zaman. Makanan itu hingga kini masih menjadi makanan favorit masyarakat di sana. Makanan itu dikenal dengan Pakasam.

Pakasam bukanlah makanan tradisional biasa. Ia merupakan salah satu lauk yang dibuat dalam waktu yang lama dan tahan lama pula. Memang bahan dasarnya ikan sungai. Tapi bukan ikan spesial atau ikan khusus.  Ikan kecil-kecil yang tidak laku dijual, tapi sayang untuk dibuang, inilah yang paling banyak diolah menjadi pakasam. Atau, ikan besar dan ikan lain yang berhasil ditangkap, itulah yang dibuat pakasam.

Entah siapa penemu pertama pakasam. Sudah ada sejak zaman baholak (dahulu). Pakasam berarti dipermasamkan. Ikan segar yang dimasamkan. Jadi makanan yang diasamkan. Pakasam merupakan makanan yaang sangat cocok untuk keluarga. Selain mudah membuatnya, bahan dasarnya mudah ditemukan di sungai, juga tahan lama. Bisa dimasak begitu saja, bisa juga untuk campuran sayur lain. Kalau dicampur dengan sayur lain, maka ia menjadi penyedap rasa. Aroma dan rasa masamnya yang diambil untuk menyempurnakan masakan sayur tersebut.

Sambil menunggu waktu pulang dari ladang yang berharihari, pakasam bisa disimpan selama itu pula. Begitu pulang dari kebun, pakasam bisa langsung diolah menjadi lauk yang lebih sedap. Bisa ditumis, digoreng atau hanya sebagai penyedap rasa, tergantung selera. Kalau menjadi penyedap rasa, maka Pakasam bisa digunakan untuk beberapa kali masak sayur. Seperti untuk campuran sayur pucuk labu dan daun ubi. Kalau ditumis atau digoreng, tentu lebih cepat habisnya. Tergantung seberapa banyak pula pakasam itu dibuat.


Ikan segar yang ditangkap dengan jaring di sungai, dibersihkan. Setelah itu, bumbu atau rempah-rempah yang diperlukan pun, dipersiapkan, macam-macam. Semua bumbu tersebut digoreng tanpa minyak, dibolak balik sampai matang (direndang). Bahkan sampai menghitam. Ada kemiri rendang sampai hangus, beras rendang sampai menghitam dan kelapa rendang. Ketiganya digiling halus secara bergantian di atas lagan (piring lada). Satu persatu, tidak boleh dicampur.

Setelah digiling, rempah tersebut diletakkan di atas ikan yang Tumis pucuk labu yang dicampur  dengan pakasam. Sesudah dibersihkan dan diletakkan di satu tempat. Kemudian ditambah dengan daun pencong (sebutan masyarakat setempat) daun kunyit diiris halus, daun limau, serai yang sudah dipukul dan sedikit garam. Bumbu ini kemudian dilumurkan secara merata ke semua ikan. Setelah rata, ikan yang sudah dibumbui, dimasukkan ke dalam takagh (kendi) yang sudah dicuci bersih pula. Kendi itu kemudian ditutup dengan daun pisang atau plastik di bagian atasnya. Di atas daun pisang atau plastik itu, kemudian ditutup dengan sapu tangan atau kain. Kain ini kemudian diikat rapat dengan karet atau tali lainnya.

Intinya, ikan yang disimpan di dalam kendi selama berharihari itu tidak boleh masuk angin. Sedikit saja masuk angin, maka ikan itu akan berulat. Semakin lama ikan yang dibuat Pakasam dimasamkan, semakin enak dan sangat terasa aromanya. Semuanya tergantung kebutuhan juga. Kadang hanya ada yang tiga hari, seminggu, sepuluh hari bahkan setengah bulan.

Membuat pakasam, tidak semua orang bisa, apalagi saat ini. Sudah jarang yang pandai dan tepat. Tak heran jika kadang, pakasam yang dibuat tidak pas rasanya. Resepnya harus sesuai takaran. Ukuran dan cara olahnya juga harus tepat. Jika tidak, akan terasa lebih masam dan menimbulkan bau tidak sedap yang sangat kuat.  Tak heran pula jika banyak yang tidak suka dengan pakasam. Tapi bagi generasi dahulu, pakasam merupakan makanan paling favorit. Bukan hanya bagaimana menyajikan makanan yang sehat kepada keluarga, tapi juga sebagai salah satu cara memanfaatkan sungai untuk kehidupan keluarga.***

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook