Kabar duka guru kami, Umbu Landu Paranggi (78) menyeruak di tengah duka banjir bandang dan badai Seroja, Nusa Tenggara, tanah asalnya.
Oleh Raudal Tanjung Banua
SABTU (3/4/2021) Umbu dibawa ke RS Bali Mandara sebagaimana 2014 ia pernah dibawa ke Rumah Sakit Sanglah. Tak ada protokol khusus. Penyair Ketut Syahruwardi Abbas yang ikut mengantar segera melakukan rapid test dan hasilnya negatif.
Hanya dua hari Umbu bertahan. Selasa (6/4) pukul 03.55 Wita ia menutup mata selama-lamanya, tak lama setelah ia berkata, ”Inilah saatnya!”
Seperti Amir Hamzah, pangeran Kesultanan Langkat, Umbu adalah bangsawan Sumba di Kabihu Tana Humba. Jika Amir pulang membawa rindu-dendam dari tanah Jawa dan tak pernah lagi punya kesempatan kedua keluar Sumatera hingga ia terbunuh dalam revolusi sosial berdarah, Umbu juga pulang ke Sumba, dari Yogyakarta, 1975.
Tapi, Umbu punya kesempatan kedua keluar Sumba. Tahun 1981 ia menuju Bali. Saya duga juga membawa semacam rindu dendam –terbaca dari ungkapannya: raja diraja sekaligus budak belian di kerajaan purbani, jadikan lidah anak lakimu bisu abadi, pukul rata tanahlah!
***
Kepergian Umbu ke Yogyakarta tak termasuk eksemplar ”rindu-dendam” itu, sebab ia memang dikirim kakek dan ayahnya untuk belajar sebagaimana keinginannya.
(”Saya takjub sekali dengan nama Taman Siswa. Betapa indah pilihan kata itu. Ayah dan kakek mendukung dengan menjual kudanya. Sayang saya terlambat mendaftar karena kapal lama berhenti di Singaraja, tapi saya bisa turun ke Kota Panji Tisna,” ceritanya suatu kali. Ketakjuban pada ”kata” dan hormat pada sosok pengarang tampak bermula dari sini).
Kepulangannya dari Yogyakarta tak membawa rindu dendam sebagaimana Amir pulang dari Surakarta –berpisah dengan gadis Jawa dambaannya, sementara ia harus menikah dengan sepupunya demi trah dan silsilah. Tentu Umbu punya kisah percintaan tak sampai juga. Paling terkenal adalah cinta platoniknya dengan seorang gadis yang membuatnya setia menunggu bus, tapi itu romantisisme.
Umbu menikah dengan gadis Sumba, masih sepupunya, bukan karena dipaksa. Mereka menjalin hubungan baik sejak Umbu di Jogja dan sang gadis di Salatiga. Bersamanya Umbu punya tiga anak: Umbu Andang Paranggi, Rambu Anarara Paranggi, dan Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi.
Pulang ke Sumba, Umbu rajin berkeliling ke kabihu-kabihu (kampung-kampung adat) di kawasan Mahukarera, Kananggar, Paberiwai, Sumba Timur. ”Kabihu leluhur kami terpelihara sejak lama dan kakek tidak diangkat Belanda, bahkan berperang melawan Belanda,” kata putra bungsunya, Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi.
Salah seorang adik tiri Umbu pernah mengenang betapa menyenangkan berkeliling bersama kakak tertuanya itu. Kemungkinan Umbu tinggal-menetap, kesetiaannya merawat tradisi Marapu nyata terlihat, dan bagi sang adik itu isyarat ia bakal betah bertahan. Ini menggembirakan keluarga besar dan kerabat.
Tetapi, saat itulah ia justru meninggalkan Sumba kembali, kali ini ke Tanah Dewata, Bali. Inilah periode kedua dari perjalanan pengembaraan Umbu yang paling ”penuh rahasia”. Berbeda dengan Amir Hamzah, Umbu menjauh dari tempat seharusnya ia bertakhta. Jika Amir membawa rindu dendam dari luar, Umbu menghelanya dari dalam. Sungsang. Tak terbilang.
***
Ada apa Umbu harus pergi setelah memutuskan pulang? Saya yakin pasti ada sesuatu dan tak pernah terungkap! Selama ini lazim kita dengar alasan klasik jika bukan romantik: memenuhi panggilan kepenyairan. Itu sudah jelas. Tapi, adakah alasan spesifik yang membuatnya ”terdera” sebagai manusia dan (calon) raja?
Tak ada gejolak di Humba. Semua kabihu senang atas kepulangan Umbu. Sebagai anak lelaki tertua Bapa Raja, ia dianggap sosok pemersatu. Tapi, ternyata ada gejolak lebih besar: gejolak dalam diri. Sebutlah: gejolak individual seorang penyair!
Ia telah melihat dunia luar yang egaliter, sementara dunia kampung halaman masih feodal. Ia telah mencecap pahit-manis dunia kepenyairan, sementara kampung adalah dunia puak dengan segala prosesi dan ritual. Bisakah ia bertahan?
”Jogja membuat bapak menjadi sangat egaliter. Ini berbeda dengan peran di kabihu yang hierarkis,” kata Wulang, anak yang ditinggalkannya masih dalam kandungan. Meski baru saat mau kuliah Wulang kali pertama bertemu sang ayah, anak laki-laki bungsu yang mewarisi wajah karismatik Umbu itu bisa merumuskan posisi ayahnya dengan baik.
”Jika beliau tetap di kampung, mungkin perangkat puitiknya akan dipereteli keadaan. Ia pilih keluar. Ini sekaligus membuka buhul hierarkis pada anak-cucunya sehingga kami menjadi anak-anak Sumba yang egaliter dan berpikir lebih maju,” lanjut Wulang. Tak ada kesumat. Tak tersirat gugatan.
Kalau demikian, Umbu bertarung dengan gejolak dirinya, dalam apa yang pernah ia sebut di sebaris sajaknya sebagai ”kesepian moderna”! Dunia kita kini: ramai dengan penemuan, citra dan kehendak, tapi terasa gerowang, hampa, dan nyaris sia-sia.
Dan Umbu, sebagaimana tersirat dalam ”Sajak Kecil”, menghadapinya dengan memercayai kekuatan kata-kata: dengan mencintai/puisi-puisi ini/sukma dari sukmaku/terbukalah medan laga/sekaligus kubu/hidup tak kan pernah aman/kapan dan di mana pun/selamanya terancam bahaya/dan kebenaran sunyi itu/penawar duka bersahaja…
Kini, di tengah ”kesepian moderna” yang menjalar ibarat wabah, kita diuji dengan pandemi Covid-19. Dunia sibuk merumuskan aturan dan strategi. Kadang, hal-hal pokok justru terlupakan. Bagaimana orang kecil bisa makan jika tak bekerja, misalnya. Bagaimana kematian sebagai ritual terakhir manusia di dunia kadang diabaikan –atau terpaksa diabaikan– seolah tiada dimensi spiritual dan sosial menyelubunginya. Seolah tiada jalan menebusnya!
Saat ini saya tulis, sudah tiga hari Umbu berbaring di dalam peti jenazah ditutupi kain tenun Sumba karena sempat tersiar kabar ia kena Covid. Saya dan beberapa kawan yang setia menunggu di Bali Mandara belum tahu jenazahnya dimakamkan di mana! Keluarga besar dan seluruh kabihu meminta jenazahnya dimakamkan di Humba, sebagaimana wasiatnya minta dikubur di samping makam istrinya. Namun, pandemi memunculkan paradoks yang tak sepenuhnya bisa dimengerti, tapi toh menuntut kompromi-kompromi.
”Sudah puluhan tahun bapak kami ikhlaskan pergi, kini berilah kami kesempatan merawat jasad dan makamnya,” kata Wulang lirih. Saya merangkulnya dan menangis. Umbu, betapa akut ”wabah moderna” ini!***
*) Raudal Tanjung Banua adalah pengarang, murid almarhum Umbu Landu Paranggi
**) Tulisan ini sudah dimuat di Harian Jawa Pos dan Jawapos.com pada Ahad, 11 April 2021