RANGGI

Rambut sang Pemantra

Seni Budaya | Minggu, 02 Agustus 2020 - 08:53 WIB

Rambut sang Pemantra

Rambut nenek itu bukan rambut biasa. Orang-orang menyebutnya Gombak. Setiap tahun dicuci dan disakralkan, agar kampung bebas dari malapetaka.

(RIAUPOS.CO) - OPON adalah seorang perempuan yang sudah meninggal ratusan tahun silam. Pastinya ia bukan perempuan biasa. Dia merupakan dukun kampung yang terkenal, mampu mengusir harimau yang menyerbu kampung halaman dan sekitarnya pada waktu itu. Jasanya yang besar, membuat orang sekampung –sejak dulu hingga sekarang-, tidak pernah lupa begitu saja. Maka, rambutnya yang disebut gombak, dicuci setiap tahun agar kampung itu tetap selamat dari kejahatan binatang buas; harimau.

Baca Juga : Umbu, Humba, Wabah

Seiring berjalannya waktu, pencucian gombak sempat terhenti karena dianggap kampung tersebut benar-benar telah selamat. Beberapa waktu lalu, tradisi mencuci gombak dibuat kembali. Bukan lagi karena ulah harimau, tapi karena kampung tersebut dianggap dalam bencana besar. Terutama ketika banyak orang meninggal berdarah-darah seperti kecelakaan, jatuh dari pohon dan lain sebagainya.

Nenek Opon tinggal di Koto Lamo waktu itu. Sedangkan kampung yang sering diserang harimau itu kampung-kampung di empat kawasan Sungai Sitingkai. Empat kawasan itu berada empat desa, yakni, Desa Sungai Syarik, Sungai Raja, Sungai Rambai dan Lubuk Agung. Dulunya ada delapan desa, ditambah Desa Batu Kalang, Badadia, Baluang dan Sungai Asam. Empat desa terakhir tidak masuk lagi karena lebih dekat ke arah Muara Takus.

Cuci Gombak bermula dari sebuah nazar. Waktu itu, orang sekampung tahu kalau Nenek Opon merupakan orang pintar. Lalu Nenek Opon dipanggil, diminta membuat ritual membacakan doa-doa agar kampung-kampung tersebut selamat dari serangan harimau, padahal Nenek Opon tinggal di Koto Lamo. Warga sudah sangat resah dengan serangan harimau yang menyerang sekitar 40 orang dalam setahun. Bahkan jika sudah menjelang petang, atau sekitar pukul 16.00 WIB, tidak ada lagi warga yang membuka rumah. Harimau benar-benar banyak di kawasan hutan Bukit Rimbang Baling ketika itu. Nenek Opon pun tinggal di Sungai Rambai. Doa sang nenek dikabulkan. Kampung bebas dari harimau, dan nenek Opon kembali ke kampungnya di Koto Lamo, meninggal di sana.  

‘’Sebelum nenek Opon dijemput dan dibawa ke Sungai Rambai, orang sekampung bernazar kalau mereka akan selalu mengenang nenek Opon dan memotong kambing untuk dimakan bersama sambil berdoa sebagai tanda syukur lepas dari mara bahaya. Nenek Opon dukun pertama. Sekarang juga masih ada dukunnya, tapi keturunan nenek opon yang kelima, generasi kelima. Dan, kami tidak pernah lupa untuk berterimakasih sampai saat ini,’’ ungkap Abu Sihar, Datok Lelo Sati, tokoh Suku Pitopang Basah.

Setelah nenek Opon meninggal, ahli waris dan masyarakat memotong rambutnya. Rambut itulah yang disimpan hingga sekarang. Dulu, setiap tahun rambut ini dicuci. Tapi 26 tahun belakang tidak pernah dilakukan karena kampung sudah aman, harimau juga jauh berkurang. Tahun lalu, cuci Gombak nenek Opon dilakukan lagi. Tidak hanya karena banyak kecelakaan yang terjadi di kampung itu, tapi juga karena masyarakat bersama ninik mamak dan kepala desa ingin menghidupkan kembali tradisi tersebut, tradisi yang dianggap kekayaan dan warisan budaya nenek moyang.

 Diarak Keliling Kampung

Gombak nenek Opon disimpan di rumah Datok Lelo Sati selama ratusan tahun. Gombak dijemput Datok Markani, lelaki tua yang merupakan dukun dan keturunan nenek Opon dari generasinya yang kelima. Bisa dibayangkan, jika satu generasi berusia 60 tahun saja, maka rambut itu sudah berusia 350 tahun. Tapi rambut itu masih utuh layaknya sebuah rambut.

Datok Markani yang didampingi tokoh masyarakat, alim ulama dan ninik mamak, datang ke rumah Datok Lelo Sati untuk mengambil Gombak tersebut. Gombak kemudian digendong dengan kain panjang dan dipayungi dengan payung warna kuning, lalu diarak keliling kampug.  Persis menggendong seorang bayi, Datok Markani memegang erat gendongannya itu dengan kedua belah tangan penuh kehati-hatian.

Mengapa Gombak disimpan di rumah Datok Lelo Sati, karena ia adalah tokoh Suku Pitopang Basah, satu suku dengan Nenek Opon, juga masih kerabat nenek Opon yang merupakan generasi jauh. Bersama ninik mamak dan tokoh yang lain, Datok Lelo Sati juga ikut berkeliling kampung. Anak-anak, orang tua, remaja dan ibu-ibu yang menjunjung dulang suku di kepalanya, juga turut sama. Ramai. Sesampainya di ujung kampung, nenek Markani disambut dengan empat silat dari empat desa yang ada di sana. Silat Bunga menjadi pertanda rasa hormat dan mengagungkan sejarah dan jasa nenek moyang.

Cuci Gombak

Setelah diarak keliling kampung, Gombak kemudian dibawa kembali ke rumah Datok Lelo Sati. Inilah puncak rangkaian ritual tersebut, yakni mencuci gombak. Datok Markani, membuka gendongannya, meletakkan di lantai, beralas kain bersih. Mulutnya mulai komat-kamit. Entah apa yang dibacanya, tidak jelas. Tapi yang pasti itu doa. Lalu ia memasukkan tangan kanannya ke dalam wadah yang berisi air jeruk dan pandan. Kemudian mengusapkannya ke Gombak. Ia mencuci gombak itu dan kemudian mengusapkan air cucian ke kening dan leher bagian belakang.

Doa selesai, ritual berakhir, masyarakat lega. Semua yang hadir turut mengusapkan air cucian Gombak ke kening dan leher belakang, dengan harapan, mereka dan kampungnya tetap terjaga dari segala mara bahaya dan bencana besar. Sebagai ungkapan rasa syukur, terima kasih dan kebersamaan, semua masyarakat makan bersama dengan lauk kambing yang dipotong memang dikhususkan untuk ritual tersebut.

‘’Dulu ritual ini dilakukan setiap tahun. Setelah 26 tahun, baru ini dilakukan lagi. Kegiatan ini lebih kepada bagaimana kami ingin menghidupkan kembali budaya dan tradisi nenek moyang kami yang ada sejak lama agar anak cucu tahu bahwa ada sebuah kisah, ada sebuah sejarah besar dulunya di kampung ini dan sekitarnya. Apalagi bukti sejarah itu masih ada, Gombak itu masih ada dengan usianya yang ratusan tahun,’’ ujar tokoh masyarakat Desa Sungai Rambai, Madi yang mengawal pelaksanaan kegiatan tersebut sejak awal hingga akhir.

Disebutkan Madi, seiring perjalanan waktu dan musim, semua bisa berubah. ‘’Tapi lupa dengan masa lalu kita, sejarah kita, jangan sampai terjadi. Semoga kami menjadi generasi yang selalu menjaga tradisi dan warisan nenek moyang serta tahu berterimakasih,’’ sambungnya lagi.

Daerah Harimau

Tidak hanya di Desa Sungai Rambai saja ritual untuk menjaga kampung dari serangan harimau ini ada. Dulu, ratusan tahun lalu, hampir setiap kampung di kawasan Kampar Kiri Hulu, khususnya di kaki bukit Rimbang Baling yang merupakan bagian Bukit Barisan, memiliki tradisi ini. Lain desa, lain namanya, lain pula caranya. Tapi intinya tetap sama, yakni sebuah kegiatan yang membuktikan hubungan harmonis antara alam dan manusia. Tidak ada orang yang membunuh harimau, meski terancam nyawanya ketika itu. Mereka lebih suka melakukan pengusiran dengan cara tradisional, dengan doa-doa dan mantra.

Tidak hanya di Desa Sungai Raja dan sekitarnya, di desa lain di sepanjang tepian Sungai Subayang yang juga Kampar Kiri dan tidak jauh dari Sungai Sitingkai, ritual yang sama juga ada. Masih terjaga dan dilakukan hingga saat ini. Ritual itu disebut dengan Semah Rantau. Dari sepuluh desa yang ada di sepanjang Sungai Subayang, hanya dua desa saja lagi yang masih menjaga ritual tersebut, yakni Desa Aur Kuning dan Desa Tanjung Beringin. Hal ini terjadi karena pergeseran waktu dan perlu biaya besar untuk melaksanakan ritual tersebut.

Baca Juga : Umbu, Humba, Wabah

Di kawasan Rimbang Baling, memang masih ada harimau. Dibandingkan hutan-hutan lain di Riau, kawasan ini memiliki jumlah terbanyak. Tapi, tentu saja tidak sebanyak dulu atau ratusan tahun lalu. Semakin banyak desa, semakin banyak kawasan terbuka, ini menjadi ancaman tersendiri bagi harimau sehingga jumlahnya terus berkurang.***

Laporan KUNNI MASROHANTI, Kampar

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook