PERISA YUSMAR YUSUF

Hujan Asap

Seni Budaya | Minggu, 15 November 2015 - 05:10 WIB

HUJAN di negeri yang dikerumuni asap, berubah dan menjelma bak mutiara. Sejatinya, tetesan hujan yang menghunjam ke samudera dengan daya lenting yang tinggi, mampu menerobos permukaan dasar laut, bersua dengan kerang atau lokan. Air hujan yang berhasil tiba di dasar samudera itu langsung ditelan kerang atau lokan. Itulah cikal bakal mutiara tumbuh dan membesar kemudian hari. Tetes air hujan pilihan itulah yang ditimang-timang dalam dunia jewelery (permata dan hiasan) dengan serpihan harga penampang yang melangit dan menggoda. Di pasar, permata bernama mutiara banyak diperdagangkan, lalu diserbu para perempuan bohai untuk menggenapkan tampilan dalam sesuku zaman.


Hujan di negeri berasap, memang jadi mutiara yang dinanti-nantikan kehadirannya. Jatuhan tetes air dari langit itu bernilai mutiara. Dia pemecah emisi, pemecah racun karbon-monoksida yang menggila, membelit leher, tekak, tenggorokan, serta memampatkan saluran pernafasan manusia, selama berbulan-bulan. Ya, berbulan-bulan. Nilai hujan yang jatuh ke daratan itulah yang bernilai mutiara. Dia bukan mutiara sungguhan. Setiap orang mendambakan jatuhan air dari langit untuk menghentikan kesombongan penguasa, kesombongan pengusaha yang berpura-pura bak pahlawan dalam penyelesaian masalah asap di negeri ini. Sebagaimana asap, kita juga seakan kehilangan orientasi, hendak menuduh siapa? Yang tertuduh juga melakukan tuduhan balik. Semua tak mengaku. Tak satu orang pun mengaku sebagai pembakar, juru bakar atau paling tidak yang memantik korek api dan puntung rokok.



Inilah ajaibnya perilaku dan tabiat orang di negeri yang diselaput asap. Setiap orang bisa berkelit dari segala laku tuduhan dan perbuatan yang ceroboh terhadap lingkungan atau ekologi persekitaran. Setiap perusahaan bisa menghadirkan bunglon atau malah alibi tentang aktor penyulut api yang meluluh-lantakkan hutan-hutan, kawasan paya bergambut yang amat rentan itu. Seakan tanpa jera, tabiat dan perilaku ini diulang terus secara beruntun ke tahun-tahun hadapan. Kita berada di tengah perilaku penguasa dan pengusaha yang anomie (kehilangan nilai) dalam rujukan perilaku dan orientasi perilaku.
Hari ini, setelah sekian banyak jatuh korban, baru kita tahu (dulu juga sudah tahu) bahwa pelaku pembakar lahan di Sumatera dan Kalimantan, tidak tinggal di dua pulau ini. Mereka bersenang-lenang di puncak-puncak mahligai ekonomi dunia. Kehidupan mereka tak pernah bersua asap, tak ada gayutan asap, tak asa serangan jerebu di pagi hari hingga membelah hari sampai malam berikutnya, lalu hitungan minggu dan bulan yang berjulur-julur. Mereka bermahligai kencana dari duit-duit pembakaran itu. lalu, kita diseret untuk mengeja sejumlah kambing hitam yang paling mudah dituduh;  faktor cuaca dan iklim yang tak stabil, termasuk fenomena el nino.










Tuliskan Komentar anda dari account Facebook