Pada bangsa yang sudah maju capaian peradabannya, bencana alam menjadi peluang dan kreativitas. Setiap bencana bisa dijinakkan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Setiap bencana, menyisakan peluang ekonomi dan bisnis. Setiap musibah ada hikmahnya. Setiap bencana bisa direduksi resikonya, ditekan faktor resikonya. Bencana yang menyuling krisis itu, bisa diolah dengan cerdas, dan menjadikan bangsa itu kian matang di masa depan. Namun, sebaliknya pada masyarakat berperadaban rendah, setiap bencana dijadikan alasan untuk menuduh faktor eksternal, mencari kambing hitam dan menyusun sejumlah serangan ke pihak-pihak lain, karena ketidak-mampuan menekan dan mereduksi resiko dari bencana tersebut. Bencana demi bencana yang terjadi pada masyarakat peradaban rendah, malah menurunkan taraf hidup dan kualitas peradabannya, bukan menjadi tambah matang, malah tambah majal dan mentah. Peradaban kita kian menumpul, padahal setiap suku dan etnik di nusantara ini, memiliki kecerdasan lokal yang luar biasa untuk keluar dari bencana dan krisis, dan sistem adat yang dibangun oleh masing-masing suku dan etnik itu, tak sedikit pun mengarah pada penghancuran ekologis, perusakan atau pemunduran ekologis.
Sebab, di tengah ruang ekologis yang muai dan tertatalah mereka menumpang hidup dan membangun sistem nilai yang kemudian dikenal sebagai tatanan adat (hukum adat). Bumi tempat mereka hinggap dan menumpang hidup, senantiasa segar dan hijau. Bumi kini, malah menjadi merah. Untuk mengubah merah jelaga menjadi hijau, setiap insan pun berdoa dan bermunajat. Di sini kesadaran langit nan tinggi dan oksigen yang dihirup zaman berzaman secara gratis menjadi sesuatu yang tak terperi. Ya, kini di tengah usaha yang keras dari pemerintah untuk memadamkan sumber api, yang berujung pada kegagalan sistemik, masyarakat hanya tinggal mengharapkan kemurahan langit untuk menjatuhkan mutiara bernama butiran hujan yang berangkai-rangkai. Malah ada doa dan munajat yang ekstrim; hujanlah lebat-lebat, bila perlu hingga menimbulkan banjir. Wah… kita bakal beralih dari satu bencana ke bencana lain yang berubah rona.
Kenapa ini terjadi? Karena daya dukung bumi kian terbatas. Postur ekologi negeri ini amat luka dan lebam. Perlu penyembuhan sekian lama, agar dia tampil sehat kembali. Saat ini ekologi bumi tempat kita berpijak sedang sakit keras dan mendemam yang teramat sangat. Tak saja luka dan calar. Sehingga, ketika musim berganti, dia pun tak sanggup menampung musim yang baru itu. Kita berhajat dan berdoa turun hujan jadi mutiara, malah bisa berubah sontak, hujan menjadi bencana. Dia membawa bencana. Semuanya diawali dan diawaki oleh manusia-manusia super rakus yang tak henti-henti menceroboh dan menggerogoti lingkungan hidup secara tak berpada-pada (tanpa rasa dan etika ekologis). Ketika bumi memerah, di ranting mana kita kan hinggap? Ketika bumi memerah, mutiara apa yang bernilai di depan mata? Maka, bersiaplah wahai segala makhluk, menanti persalinan bencana yang sudah dekat di depan mata. Selama kita tak memotong akar persoalan bencana ukiran manusia itu, selama itu bencana akan bersalin dalam ragam corak dan rona. Percayalah! ***