Dengan menerbitkan media budaya-sastra baik dengan modal besar maupun patungan per individu, para budayawan dan sastrawan Riau telah berupaya menjaga identitas Melayu dengan caranya sendiri.
RIAUPOS.CO - DI era ini, ketika media massa beralih wahana secara cepat dari cetak ke digital dan daring, mau tak mau, penerbitan media budaya (seni dan sastra) juga mengikuti. Semestinya, perubahan wahana ini tidak mengubah substansi konten yang diterbitkan. Tetapi, meski era media budaya cetak sudah dianggap "selesai", masih banyak pegiat kesenian yang terus bertahan setia dengan “harumnya” bau kertas saat membacanya, yang –bagi sebagian orang— tidak bisa dilupakan. Di Riau, hal ini masih terjadi.
Sebuah diskusi tentang media budaya diselenggarakan dan diprakarsai oleh akademisi dari Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Andalas (Unand), Dr Wannofri Samry, beserta dua anggota timnya, Okta Firmansyah MHum dan Ahmad Muhajir MHum. Mengambil tema “Menjaga Identitas Melayu: Penerbitan Media Sastra-Budaya di Pekanbaru”, kegiatan diskusi termpumpun terbatas yang diselenggarakan di sebuah kedai kopi di kawasan Simpang Tiga, Kecamatan Bukitraya, Kamis (10/8/2023) ini, menghadirkan budayawan yang juga Ketua Suku Seni Riau, Marhalim Zaini; sastrawan Fakhrunas MA Jabbar; sastrawan dan ahli hukum, Prof Dr Husnu Abadi; musisi dan pegiat sastra, Zuarman Ahmad; pendidik yang juga sastrawan, Dr Bambang Kariyawa Ys; pendiri dan pemilik Penerbit Salmah Publising, Siti Salmah; dan staf Balai Bahasa Provinsi Riau yang juga novelis, Marlina (Naya R).
Dalam pengantar diskusi, Wannofri menjelaskan, penerbitan sastra-budaya tetap dilakukan secara terus-menerus oleh para pelaku sastra atau pengusaha penerbitan. Di kalangan sastrawan, berbagai model publikasi karya dilakukan seperti dalam bentuk buku, majalah dan koran/surat kabar. Pada tahun 1990-an dan sebelumnya tidak jarang penerbitan dilakukan secara patungan atau arisan.
Giatnya penerbitan itu tentu mempunyai alasan yang kuat dan pemikiran yang dalam. Perubahan teknologi telah mendorong masyarakat untuk mengikuti informasi apa pun melalui ruang multimedia. Media masa konvensional semakin terdesak, sebab informasinya sering terlambat dan kurang efektif diikuti masyarakat. Namun di tengah perubahan teknologi media dan perubahan sikap masyarakat terhadap media, para penerbit masih melakukan penerbitan konvensional.
Lelaki yang juga seorang penyair ini mengutip apa yang disampaikan oleh Stephen Quinn dan Vincent Filak dalam bukunya Convergent Journalism an Introduction (2005), bahwa perubahan teknologi telah membuat konvergensi media, yaitu menghadirkan media dalam jangkauan yang luas dengan barbasis multi-platform media. Maka, katanya, kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana konvergensi media dilakukan oleh penerbit? Sejauh mana dilakukan konvergensi media sastra-budaya di Pekanbaru? Apakah tantangan penerbitan media sastra-budaya di tengah perubahan teknologi dan budaya masyarakat? Dan, ekologi seperti apa yang tercipta di lingkungan penerbitan sastra dan media sastra dalam era digital?
“Dalam kondisi seperti ini, terutama dalam penerbitan media budaya, jika mengikuti tren digital, pasti ada baik buruknya. Baiknya, tak perlu lagi melakukan pemasaran seperti media konvensional karena semua bisa melalui digital atau online. Juga bagaimana mendapatkan naskah akan lebih mudah. Sisi negatifnya, barangkali, hingga kini media digital belum menguntungkan secara finansial. Sedangkan dari sisi idealisme, menurut saya, tak ada perubahan, termasuk bagaimana memasukkan visi dan misi dalam karya yang diutulis, juga tentang konten lokal yang tetap bisa di perkuat,” ujar penulis buku puisi Yang Memelihara Kecoak dalam Kepala (2021) ini.
Sastrawan Marhalim Zaini menanggapi dengan mengatakan bahwa dunia digital dan daring adalah sebuah keniscayaan. Salah satu hal yang mungkin sulit dilakukan adalah mengajak generasi milenial (Generasi Z) untuk masuk ke media cetak karena mereka sudah terbiasa dengan telepon pintar yang di sana ada segalanya. Lelaki yang juga pernah mengelola majalah budaya seperti Tamadun, Berdaulat, dan kini majalah Suku Seni, ini, menambahkan, menerbitkan media budaya meski tak menguntungkan secara finansial, tapi hal itu menjadi tonggak dan terlihat jejak karyanya. Di situ ada idealisme.
“Di Riau, berbicara tentang Melayu dalam karya sastra adalah masalah ideologi. Apa pun wahana media yang dipakai, cetak atau daring. Itu adalah cara mendekatkan generasi milenial dengan satra dan media tersebut. Meski sulit, tapi itu harus tetap dilakukan,” jelas penulis buku kumpulan puisi Jangan Kutuk Aku Jadi Melayu ini.
Dia menambahkan, upaya untuk mempertahankan media-media budaya yang pernah diasuhnya itu bukannya tidak dilakukan. Namun kesulitan utama memang modal, apalagi dari sisi penjualan memang sulit memasarkan media seperti itu. Karena itu dia menganggapnya sebagai kerja idealis. Tentang mengapa dia masih menerbitkan media budaya edisi cetak, yakni Suku Seni, karena mendapatkan sokongan dana dari pemerintah lewat program Indonesiana. “Kalau nanti dananya terhenti, saya juga tak bisa menjamin tetap terbit cetak. Bisa beralih ke daring,” ujarnya lagi.
***