CERPEN - M ARIF BUDIMAN

Penyair Tua dan Sebiji Apel

Seni Budaya | Minggu, 12 April 2020 - 11:41 WIB

Penyair Tua dan Sebiji Apel

Pagi menjelang, Bahri termenung merasai nasibnya. Batuk yang dideritanya selama setahun terakhir membuatnya kewalahan. Tubuhnya yang dulu gemuk, kini perlahan mengurus dan tinggal menyisakan kulit keriput pembalut tulang. Kini hari-harinya hanya dihabiskan di dalam rumah.

“Kuharap Bapak tak pergi ke mana-mana. Istirahatlah di atas ranjang. Aku berangkat kerja dulu,” pesan Nur.


Bahri mengangguk. Ia terpaksa menuruti perintah anaknya karena keadaan. Meski dalam batinnya bergejolak dan tak ingin terkekang. Sebagaimana kehidupannya ketika muda yang bebas dan tak terikat oleh siapa pun.

Semenjak istrinya meninggal dua tahun silam, Bahri hanya hidup berdua dengan Nur. Anak perempuan semata wayang itulah yang kini menjadi penopang hidup Bahri. Terkadang Bahri merasa tak enak dengannya. Sebab semasa masih sehat, Bahri tak begitu peduli padanya. Bahkan Nur tak pernah diharapkan kehadirannya karena Bahri sangat menginginkan anak laki-laki.

Namun kini, ketidaksukaan Bahri atas Nur kini berbanding terbalik. Nur sangat perhatian dengan Bahri, meski ia tahu Bahri tak pernah mengharapkan kehadirannya.

“Obatnya sudah diminum, Pak?” tanya Nur sepulang kerja.

“Sudah,” jawab Bahri lirih. Padahal seharian ia tak menyentuh sama sekali obat-obatnya.

“Baik. Kalau begitu aku mandi dulu ya, Pak.”

Selesai membersihkan diri, Nur kembali ke kamar Bahri dengan membawa semangkuk bubur. Ia kemudian menyuapi Bahri. Tetapi baru beberapa sendok, Bahri kembali terbatuk hingga sisa bubur dalam mulutnya menyembur keluar. Dengan isyarat tangan, Bahri enggan melanjutkan makannya.

“Makanlah barang satu atau dua sendok lagi, Pak.”

Bahri menggeleng. Ia hanya minta diambilkan segelas air putih.

“Ini obatnya segera diminum,” ujar Nur sembari menyodorkan beberapa jenis pil dan sebotol sirup. “Aku tahu Bapak seharian tak minum obat.”

“Taruhlah kembali di meja. Nanti aku ambil sendiri. Sekarang lebih baik kau istirahat. Kau harus sehat. Jangan sampai sakit. Kalau kau sakit, siapa yang merawatku?”

Nur menghela napas panjang. Ini kesekian kalinya Bahri menolak untuk minum obat. Ia tak mampu berbuat banyak. Ia pun meninggalkan Bahri yang terbaring lemah.

Malam semakin larut. Bahri terjaga setelah batuk kembali menyergap dadanya. Sesekali ia meludah ke dalam baskom yang telah ditaburi pasir.

Seumur hidup, baru kali ini Bahri merasakan kamar yang ia tempati begitu sunyi. Detak jam dinding dan suara sepasang cicak yang berkejaran tak membuatnya merasa ramai. Perlahan Bahri mengangkat tubuhnya dari pembaringan. Sejenak ia duduk, kemudian berjalan tertatih menuju meja kecil di seberang ranjang.

Setelah duduk, ia menarik napas dalam-dalam. Dilihat wajahnya sendiri pada cermin yang terpampang di tembok.     

“Ternyata aku semakin tua,” gumam Bahri sembari mengusap pipinya yang keriput. Kemudian pandangnya dialihkan pada sepasang bingkai foto istri dan anaknya di atas meja. “Seharusnya aku tak menyia-nyiakanmu. Semestinya aku memperlakukanmu dengan baik. Maafkan bapak, Nak,” ucap Bahri seraya mengusap foto Nur. “Dan kau...” pandangan Bahri beralih ke foto mendiang istrinya “Seharusnya masih tetap di sini menemaniku. Bukankah kita pernah berjanji sehidup semati? Ah, kau curang. Aku curiga, kau memang sengaja meninggalkanku bukan?”

Bahri terdiam. Kemudian diraihnya beberapa bungkus obat di atas meja. Namun ia membatin. “Kalau aku minum obat ini, aku tak segera bertemu dengan istriku. Sementara kangen ini telah menggunung.” Bahri pun menggeser bungkus obat yang tadi diraih.

Bahri kembali terbatuk. Dengan segera diraihnya gelas air putih dan diteguknya hingga tandas. Ia terlihat semakin kepayahan. Dadanya kembang-kempis dan napasnya megap-megap seperti ikan dilempar ke daratan. Perlahan ia mengatur kembali napasnya. Setelah tenang, ia merasakan mulutnya begitu kecut. Untuk menghilangkan rasa itu, ia ingin mengunyah apel yang disuguhkan Nur beberapa hari lalu. Diraihnya pisau di atas piring. Diamatinya pisau yang ada pada genggaman tangan kanannya. Batinnya tiba-tiba seolah berbisik ke telinganya.

“Mata pisau itu tak berkejap menatapmu. Ia tajam untuk mengiris apel yang tersedia di atas meja sehabis makan malam. Ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu.” [1]

Kemudian Bahri kembali mengajak bicara dua bingkai foto dihadapannya. “Dalam kamar ini kami bertiga: aku, pisau, dan kata. Kalian tahu, pisau barulah pisau kalau ada darah di matanya. Tak peduli darahku atau darah kata.” [2]

Namun belum juga mengambil apel, batuk kembali menyergap dada Bahri. Ditutupnya mulut dengan tangan kiri. Kali ini batuknya begitu dalam dan nyaring hingga membuatnya jatuh dari kursi.

Mendengar kegaduhan, Nur bergegas mendatangi kamar Bahri. Ia begitu kaget setelah mendapati bapaknya terkapar tak sadarkan diri. Ia melihat darah segar membasahi mulut, leher dan tangan kiri Bahri. Sementara tangan kanannya masih menggenggam pisau. Melihat keadaan bapaknya seperti itu, Nur semakin panik.

“Pak, bangun Pak!” teriak Nur berulang kali. Namun tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut Bahri. Perlahan detak jantung Bahri semakin tenang dan sepi.***


Kudus, Juli 2018

 

Catatan:
[1] Penggalan sajak “Mata Pisau” dalam kumpulan sajak Hujan Bulan Juni, Sapardi Djoko Damono
[2] Sajak Kami Bertiga dalam kumpulan sajak Hujan Bulan Juni, Sapardi Djoko Damono

 

M Arif Budiman, lahir di Pemalang 5 November 1985. Karyanya dimuat di beberapa media massa dan daring. Sekarang menetap di Kudus.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook