Bulan-bulan yang penuh daki. Serba dekil. Kita tak pernah mendaki, walau disedia ruang menanjak. Kita pun tak perlu prestasi. Antara daki dan mendaki, berjarak defenisi. Daki, ialah kerak badan di permukaan jangat manusia. Sementara mendaki, ialah peristiwa menaik, meninggi yang dilakukan secara perlahan dan pasti. Di bulan-bulan yang penuh daki, orang tak kuasa mendaki. Selama hampir tiga bulan ini, kita diserbuk oleh racun asap yang bergentayangan menerobos kampung-kampung dan menabrak kota-kota. Asap melambung dan mendaki dari kawasan paya bergambut tebal dan dalam di pantai timur Sumatra dan pantai Selatan-Barat Kalimantan.
Kawasan gambut, bentuk dan struktur tanahnya saja sudah rentan, gampang sobek dan luka. Dengan tampilan konfigurasi seperti ini, diisyaratkan untuk menyapanya secara lunak dan lembut pula. Bukan main tabrak, dengan crane raksasa dan bulldozer, lalu menebuk pulau-pulau gambut, diikat dengan kanal-kanal tersambung. Selanjutnya? Manusia berpembawaan ceroboh, di tanah yang mudah luka, perlakuan pembukaan lahannya tetap diperlakukan sama dengan tanah berstruktur padat dan berbukit. Dengan tampilan yang lunak rentan itu, berarti kawasan ini jangan disentuh oleh kegiatan apapun, kecuali sentuhan perkebunan terbatas dalam skala kecil untuk rakyat kecil pula. Sejak 10 tahun silam saya menolak upaya koorporasi yang berniat masuk dan menabrak kawasan paya bergambut di pulau-pulau pantai Timur Riau untuk dikembangkan sebagai kawasan Hutan Tanaman Industri. Termasuk kawasan semenanjung Kampar yang amat dalam secara vertikal struktur gambutnya. Saat itu, saya bertanya; “Tidak cukupkah sediaan lahan di bantaran benua Sumatera dengan struktur tanah mineral untuk dijadikan kawasan pengembangan Hutan Tanaman Industri? Kenapa harus mencerobohi pulau alluvial dengan skala serba terbatas? Suatu saat, kecerobohan tuan-tuan pasti akan menjadi bahan olokan dan tertawaan manusia seduia. Bukan hanya mengenai kerakusan, tapi juga mengenai kedunguan tuan-tuan”. Kini terbukti.
Ekspansi besar-besaran dan masif ke kawasan gambut, membuat hutan gambut dan paya menjadi kering dan kerontang. Dia berubah sontak menjadi ranting-ranting yang kering, seraya menunggu percikan api sekecil apapun, dia bakal menjadi kobaran api yang mengamuk. Dulu, amukan api di tengah hutan, akan padam dengan sendirinya (alamiah) karena api yang berkobar akan dihadang oleh tembok tanah gambut yang lembab dan basah senantiasa. Kini, gambut tidak hanya jadi pemicu, tapi sekaligus bertindak sebagai media perantara untuk kobaran api berikutnya. Inilah padahnya, pengetahuan dan kemampuan yang terbatas oleh sebagian besar penguasa di pulau Jawa yang tak mengerti dengan bawaan hutan gambut dan struktur gambut. Mereka melihat gambut sebagaimana dalam defenisi tanah dan lahan di pulau Jawa. Sehingga pemberian izin Hak Guna Usaha atau pun HTI, sarat dengan bias serba Java sentris. Kini, baru mereka sadar, bahwa kawasan gambut jangan didekati, apatah lagi dieksploitasi, dia bakal berubah sontak jadi neraka. Hari ini, republik dikepung asap dari segala penjuru mata angin. Tak cukup di situ, malah jadi tertawaan bangsa serantau, jadi olokan bangsa sedunia. Betapa rendah bawaan peradaban kita terhadap lingkungan yang melahir dan membesarkan kita. Rumah yang molek, malah dibakar. Begitu gerutu mereka dalam hati.