Kekinian yang tengah berlari dengan kehidupan kita, adalah kesempatan emas untuk mengisi ruang yang kita tempati secara temporal itu. Manusia bisa menjinakkan waktu dengan beragam aktivitas dan segala kegiatan penuh warna. Waktu yang terhidang itu tidak untuk dijalani secara pasif, menung, menunggu, berharap dalam kehampaan. Manusia berubah di dalam waktu, bukan waktu yang berubah dalam manusia. Pandangan kritis dari Eric Frormm dari mazhab “Psikologi Cinta”: “Ciri umum dari manusia modern dalam bersikap, mereka hidup di masa lalu atau di masa depan, tidak di masa sekarang”. Kini, banyak penyair atau yang mengaku budayawan mengisi waktu dengan mengolah komoditas masa lalu. Sesuatu yang berada di masa lalu, disuling dalam uap kekinian, mungkin untuk mencari makan, menyambung nafas kehidupan, atau berselingkuh dengan masa lalu sebagai wujud romantisme tak berkaki, sehingga masa lalu diburai, diurai dalam gradasi angka-angka dan keuntungan yang bakal dipetik; mungkin itu dalam bentuk jabatan dalam sebuah mesin birokrasi atau jenis persemenadan daya tawar diri dan ke lompok anu.
Sebagai “anak zaman” (ibn al waqt),
para sufi sejati tidak menoleh ke belakang dan tak menerawang ke masa
depan. Mereka tetap memandang dan memikirkan masa kini yang tengah di
jalani. Karena inilah waktu sejati yang dihibahkan kepada dirinya saat
ini. Juga tidak terbentuk oleh “kata orang”, pendapat orang, pendapat
penguasa, pendapat para orang kaya, namun membentuk diri sendiri dengan
serangkaian aktivitas positif-dinamis dan progresif, dalam pembawaan
serba konstruktif. Mereka berupaya menjadi diri sendiri, sekaligus tuan
bagi dirinya sendiri. Tidak bertuan kepada sesiapa pun. Ada satu
kecerdasan yang harus diolah dalam pemanfaatan waktu kekinian itu, yaitu
faktor “di sini” (here).
Bahwa, seprogresif apa pun yang hendak engkau isi di dalam waktu yang terhidang, maka manfaatkanlah bahan baku “di sini” (bahan baku lokal). Nilai-nilai bertajuk lokalitas, berhawa lokalitas, (walau dia suasa, namun sejatinya dia adalah emas kebudayaan bagi mu), menjadi satu pertimbangan untuk menangkap kesempatan yang terhidang. Variabel “di sini” (here), harus menjadi karakter yang kuat, sekaligus memberi efek warna dan rima yang berbeda dengan “ke-di-sini-an” yang juga di manfaatkan oleh orang atau bangsa-bangsa lain dalam semangat “ke-di-sini-an” mereka masing-masing.
Para penyair, kaum sufi sejati adalah sekumpulan manusia yang bisa mengikuti alun gelombang kehidupan dalam cahaya perubahan yang dinamis. Mudah beradaptasi dengan kenyataan yang bergulung dan bergelung, sembari menggali kedalaman sumur lokalitas, kemudian mengangkat segala khazanah itu ke permukaan untuk dijadikan bahan baku dalam mengolah waktu yang dihimpit oleh dua ketiadaan. Maka, berdesinglah dalam cahaya nan progresif menyemburat.***