Membuka pintu
Ia seolah-olah membuka pintu
Mencipratkan kisah cinta
Di dinding tua _merah seketika
Seperti doa mengaliri sukma
Mengamini percakapan sebelumnya
Padahal pintu itu selalu terbuka
_membiarkan sepotong kata
Berada dalam lubang kunci pintu itu
Bahkan huruf-huruf tak pernah alpa
Melafalkan senyuman di balik hati
Dan ia seolah-olah tak pernah lelah
Menemui ruang sunyi
Di pintu-pintu kau sembunyi
Gapura, 2020
Kali ini
Kali ini, kita mesti harus membuka tirai langit
Meski dengan imajinasi yang entah
Atau dengan mengepakkan sayap puisi
Yang lebih paham mengelilingi dunia
Tak mungkin dengan ucapan syahdu
Akan menemukan tubuh kita sebenarnya
Dan aku harap, pertemuan ini adalah kenangan
Sebab, sebentar lagi kita akan menemui ruang sendiri
Kali ini, kita akan menikmati perayaan puisi
Sebelum kita benar-benar menjadi diri sendiri
Menjadi penyair yang tak pernah selesai
Merangkum kata, juga merangkum masa depan.
Gapura, 2020
Buku Berlumpur Darah
Seperti celurit saja pensil yang kau pegang
Mencorat-coret buku dan melukis senja di dalamnya
Akan tetapi ada yang berbeda
Dalam buku puisi itu
Siapakah yang mencoretnya?
Penyair atau perempuan tua
Yang dikerumuni penyesalan
Bercak darah mencibir
Satu persatu halaman kenangan
Hingga huruf-huruf mulai samar
Bahkan ada yang tak terlihat lagi
Hanya darah yang tersisa
Dan melumpuhkan langkah mata, membaca.!
Gapura, 2020
Meja Puisi
Di sini, aku menunggu kepastian
Mengagumi kata-kata di meja puisi
Sebelum buku-buku dilahap
Ke dalam tubuhku yang lugu
Diksi mengkilat ke dasar mataku
Menciptakan kisah
Yang ingin bersemayam di gubuk jiwa
Dan di sini, aku menjadi pengunjung
Di meja puisi dengan hidangan metafor perawan
Yang mesti kumakan setiap hari
Gapura,2020
Membaca Sajak
Dua titik matamu menakar di buku-buku
Menjalari puisi yang bersembunyi di ruangan
Entah ke berapa kalinya aku
Memaknai hidup berkepanjangan
Seperti huruf-huruf yang semestinya
Ku rangkai menjadi rumah abadi_ puisi
Bahkan dengan membaca kenyataan
Adalah perjalanan membuka pintu hatimu
Gapura, 2020
Setelah Kita Tiada
Setelah kita tiada
Apa yang mesti diharapkan?
Senyum pesakitan atau sebatas jejak
Di antara huruf-huruf yang manja itu
Kita hanya bisa mengatakan dengan tabah
Sebaik-buruknya aku dan kamu
Puisi kitalah yang akan mencatatnya
Gapura, 2020
Ruhan Wahyudi Penulis menetap di Sumenep Madura, sekarang Mengabdi di MA Nasy’atul Muta’allimin Gapura Timur, bergiat di komunitas ASAP (Anak Sastra Pesantren) dan KPB. Tulisannya berupa cerpen dan puisi, termaktub dalam: Banjarbaru Festival Literary (2019), Festival sastra internasional Gunung Bintan (Segara Sakti Rantau Bertuah) (2019), dan lainnya. Karyanya juga dimuat di berbagai media nasional serta pernah mendapatkan Anugerah sebagai Puisi Terbaik di Hari Puisi Indonesia Disparbud DKI Jakarta Yayasan Hari Puisi 2019. Antologi Puisinya adalah Menjalari Tubuhmu di Pundak Waktu (2019).