- bagi agus noor
1.
Surat itu datang di musim hujan. Diantar oleh tukang pos yang mengenakan jas hujan gelap, dengan amplop yang dibungkus plastik. Plastik yang agak sedikit basah dan dingin oleh angin. Tukang pos itu nampaknya telah gigil oleh hujan yang menderanya. Entah siapa yang mengirimkannya kepada saya. Amplop yang sebenarnya tak lagi putih berseri, kertasnya sudah agak pucat kekuningan. Terasa tumpukan kertas yang tebal. Tanpa nama, pula alamat dari pengirimnya. Hanya ada sebuah kata yang ditulis pula (agaknya dengan tergesa). Dari: penyair.
Engkau tahu profesi penyair, mungkin pula bukan sebuah pekerjaan yang tertera dalam selembar kartu penduduk negeri ini. Profesi itu, mungkin hanya seorang W.S. Rendra yang bersikeras membubuhkannya dalam identitasnya. Pekerjaan: penyair. Sebuah kiriman yang aneh, pikir saya. Amplop itu saya biarkan teronggok di meja kayu. Lalu saya sibuk dengan kegiatan lainnya. Membersihkan beranda yang tergenang oleh hujan. Membersihkan kipas angin. Membaca beberapa BBM dari teman. Membuat secangkir kopi. Membakar sebatang rokok dan mengisapnya sampai tandas.
2.
Baru saat malam hinggap saya tergerak membukanya. Ada empat lembar kertas. Kertas yang juga tak lagi putih berseri. Terasa lebih kumal warnanya dibandingkan dengan amplop pembungkusnya. Tulisannya miring bersambung, begitu elok untuk dibaca. Mungkin semacam fragmen-fragmen yang lepas. Beberapa bagian tidak terasa nyambung.
Mulanya, ia memulai surat itu—aku membaca sebuah cerita pendek yang ditulis di sebuah koran ternama. Melulu berkisah tentang seorang penyair. Ihwal penyair yang jatuh cinta dengan telepon genggam. Begitu miris. Setiap jalinan kalimat dalam cerita itu menusukku di dada. Saya membayangkan ia tengah menudingkan telunjuknya ke dadanya yang kurus. Padahal ia tak paham bagaimana kerja seorang penyair, bagaimana kesehariannya bergelut dengan kata-kata. Ia melanjutkan dengan kalimat:
Pagi. Sepi. Pernah aku angankan kelahiran baru di mana kata-kata ngerubung mirip semut meniti jalannya sendiri-sendiri. Dengan segelas kopi kuseduh dirimu yang terasa makin lampuh. Meski lampion matamu mengingatkanku pada sebuah binar yang terus berdenyar, menakar-nakar kelakar, sesekali merupa bunga mawar—tetapi banyak yang juga tak serupa, bukan? Ehm, kau sejak lama telah memungut kesendirianku, menangguhkan derita yang tak henti-henti luka. Tapi bagaimana aku dapat melahirkannya? Ingatanku tak lagi lekat pada garba bunda. Sementara di rahim kota telah lahir anak-anak kecil yang tegar, dengan celana penuh debu. Berjalan di sepanjang lorong kota ini, mengisap matahari, mengunyah udara. Seperti mengisyaratkan sebuah keinginan yang hambar. Aha, pintu terus saja terbuka, menyeret masa lalu sampai lampus. Meninggalkan angin dingin di sepanjang tengkuk, bikin bulu kuduk berdiri. Sebentar, meski kau tak akan pernah setuju, biarlah aku kenang dulu para tetua moksa dan luka. Ah, betapa aku ingin melacak peta tubuhku yang sempat luruh. Di batang silsilah.