PERISA YUSMAR YUSUF

Waktu

Seni Budaya | Minggu, 06 Maret 2016 - 00:03 WIB

Waktu itu adalah puisi yang dijepit oleh dua ketiadaan. Kita  yang hidup di dalam sebuah ruang bernama bumi, dapatlah damsalkan bak menyewa sebuah auditorium. Masa sewa itu amat terikat dengan waktu (masa). Selesai penyewaan, maka selesai lah waktu penggunaan auditorium itu. Nah, bumi ini laksana auditorium yang dimanfaatkan oleh manusia berdasarkan penggalan waktu yang tersedia. Dulu kala, dan dulu lagi, bumi yang auditorium itu ditempati oleh generasi leluhur kita (dan itulah waktu, yang diberi kepada mereka sebagai penghuni@penyewa). Saat ini, auditorium itu , kita yang menempatinya, jelang pergantian generasi yang bakal menyewa atau penghuni berikutnya.

Maka, waktu adalah entitas yang ada di dalam kekinian. Masa lalu itu tiada, demikian pula masa depan, juga tiada. Waktu adalah apa-apa yang tengah berada di depan hidung dan mata kita saat ini. Waktu, bagi para sufi adalah apa yang bersama dan menyertai kita di masa sekarang, yakni entitas wujud di antara himpitan dua ketiadaan: masa lalu dan masa depan. Ruang (auditorium) yang menjadi tempat atau wadah, bak panggung yang disewakan oleh beragam manusia berdasarkan ikatan waktu. Waktu yang tersedia dan tersisa dalam ruang itu, mestilah dimanfaatkan sebaik mungkin, tidak mubazir. Hargailah kekinian, agar kita tahu bagaimana indah dan merdunya masa kini. Kita tak hidup di masa depan, namun hanya menumpang hidup di masa depan (sebuah ketiadaan). Syaidina Ali berujar mengenai waktu: “Maka di manakah apa yang telah lalu dan apa yang akan datang. Berdirilah, dan ambillah kesempatan di antara dua ketiadaan”. Kaum penukil tasawuf, memandang diri mereka sebagai “anak zaman” (Ibn al waqt). Mereka harus cerdas mengisi waktu yang diberi dalam sebuah ruang yang akan berganti pemakainya. Dalam waktu, dikenal satu kata kunci sebagai penggoda: “kesempatan” (chance, ocassion, opportunity). Ingat, mereka yang cerdas memanfaat dan mengenderai waktu lah yang bisa memetik manisnya pepatah “kesempatan itu datang hanya satu kali”.


Wah, progresifkah tasawuf? Wah amat dan sangat progresif. Tak sebagaimana difahami awam selama ini. Mereka yang menyia-nyiakan waktu adalah sekumpulan makhluk yang mengumbar-umbar kemubaziran. Waktu, adalah gambaran tentang kita saat ini. Bukan masa lampau, apatah  lagi masa depan. Ingat, setiap gene rasi dan setiap zaman memproduksi sakralitas dan ideologinya masing-masi ng. Apa-apa yang dianggap suci oleh nenek moyang kita di sebuah masa bernama masa lalu, belum tentu sakral bagi kita hari ini. Di sini, waktu, memberi pemaknaan. Begitu pula ideologi pada sebuah masa, belum tentu relevan dan berdaya guna bagi kita yang hidup pada  waktu kekinian hari ini. Sakralitas dan ideologi yang dikonstruksi oleh leluhur masa lalu, hanya cocok dan sejalan dengan kenyataan waktu bagi mereka saat itu. Walau tak dinafi, bahwa mungkin ada beberapa sisi atau beberapa elemen sakralitas dan ideologi masa lalu leluhur itu, memang masih ada relevansi dengan kekinian. Namun, tugas kita untuk mengisi kekinian (sebagai waktu yang terhidang) dengan resam dan sakralitas yang menyesuaikan dengan dinamika hidup dan gelombang capaian peradaban di antara manusia global yang amat kompetitif itu, sangat tak terelakkan. Dan menjadi sebuah keniscayaan. Di sini kita berpacu dengan waktu yang progresif.










Tuliskan Komentar anda dari account Facebook