Saat ini, akibat deraan bencana yang terus menerus berlangsung, kita menjadi masyarakat yang pecah. Masyarakat jenis ini memerlukan pemulihan sosial yang agak lama. Misalnya spontanitas sosial yang berpembawaan positif bagi komunitas, yang kian padam dan hilang. Ihwal ini, secara sosiologis, merupakan “modal sosial” (social capital) yang harus ada dalam setiap masyarakat, semaju apapun jenis capaian kebudayaan masyarakat itu. Ketika bentuk-bentuk “modal sosial” itu menghilang, pada ketika itulah , masyarakat itu mengalami kiamat sosial. Setiap individu menjadi makhluk yang autis, yang tak membuka jendela dirinya bagi interaksi sosial atas kehadiran orang-orang lain yang berada di sekitar atau malah mereka-mereka yang tak terengkuh nun berada jauh di benua-benua jauh. Interaksi ini, menjadi penanda kehidupan, menjadi indikator tentang denyut kemauan, keinginan untuk saling berbagi dan berkongsi ide, berkongsi pengalaman, terutama yang berkaitan dengan kearifan lokal dalam mengendali bencana dan memperkecil resiko bencana.
Setiap orang telah melakukan sesuatu untuk mengatasi dan memperkecil resiko bencana itu, walau sebatas doa dan gerutu. Ini juga sebuah modal sosial; Kita memperlihatkan diri kepada langit nan tinggi, bahwa kita adalah makhluk yang dhaif lemah di tengah bencana yang mengepung. Saat ini, kita tak memerlukan perilaku mendakukan diri sebagai pahlawan. Sebab, kita memiliki masa lalu dan saham terhadap penghancuran lingkungan dan kawasan gambut. Mungkin, dulu kita adalah bagian dari koorporasi yang menghancurkan bentang dan struktur kawasan gambut yang ada di Riau. Namun kebetulan hari ini sudah pensiun. Namun, bukan serta-merta kita langsung mendakukan diri, bahwa kitalah pahlawan sejati dalam perlawanan terhadap asap, lewat modal bersuara dan gerutu pula. Ini hanyalah sebuah tindakan amat naïf, di tengah anak-anak dan orang tua yang diserang sesak nafas yang tak kunjung usai. Lalu, hendak evakuasi ke mana? Kita masih punya kampung dan halaman…***