PERISA YUSMAR YUSUF

Bencana dan Evakuasi

Seni Budaya | Minggu, 01 November 2015 - 00:24 WIB

Bencana dan Evakuasi

BENCANA itu akhirnya memang tiba jua. Dia memang  fenomena tahunan sejak hampir 19 tahun silam. Bencana asap. Ulah alam? Oohhh, tidak. Semuanya hasil dari ulah dan laku manusia. Bencana itu sebenarnya bisa dijinak, asal manusia bermain di aras antisipasi yang kuat. Kita tak bisa menghancurkan bencana alam, seperti gempa. Namun, kita dapat meminimalisir akibat-akibat dari bencana itu. Sekarang asap, bukanlah bencana alam. Dia adalah bencana hasil kreasi manusia. Hutan dan lahan yang terbentang dihajatkan sebagai surga bagi kehidupan dan manusia. Kita dikategorikan sebagai bangsa yang bodoh, karena hutan yang semestinya adalah surga bagi kemanusiaan dan sekalian alam, malah kita serahkan pengelolaannya kepada orang-orang yang ceroboh dan sembrono. Mereka sama sekali tak bertanggungjawab atas kebakaran. Mereka tak memiliki visi spiritualitas dalam pengelolaan alam kita yang kaya; terutama lahan gambut.

Kita hanya sok mengatakan bahwa kita negeri dan alam kita kaya, maka eksploitasilah dalam beragam cara. Ini bukan hasil dari kerja pemerintahan Jokowi yang berjalan satu tahun ini. Ini adalah kerjaan tahunan yang telah berlangsung dalam modus-modus pemberian izin kepada perusahaan industri berbasis hutan di negeri ini. Di mana pusat remote pemberian segala izin itu berlangsung? Ya, sekali lagi Jakarta. Sekarang kita mau bicara apa lagi? Menyalahi pemerintah hari ini? Ohh, bagi saya ini sebuah kekeliruan. Pemerintah hari ini, hanyalah kena bala dan tulah dari kebijakan pengelolaan hutan pemerintah-pemerintah sebelumnya. Sebab, pemberian izin pengelolaan hutan dan kawasan gambut itu telah berlangsung puluhan tahun.

Baca Juga :"Jaga Kelestarian dan Nilai-Nilai Budaya Melayu"

Yang menjadi aneh, ketika kebakaran besar merambah negeri ini, mengepung republik dari segala mata angin, semua perusahaan pemilik lahan sesuai dengan izinnya, tak satu pun mengaku terlibat dalam pembakaran hutan. Kita mengulangi kebodohan yang sama dari tahun ke tahun yang dipertontonkan kepada warga dunia, betapa rendah peradaban dan pencapaian kebudayaan kita. Betapa rapuhnya pemerintah kita, betapa lemahnya tentara kita, betapa longgarnya solidaritas sosial kita, betapa lepainya manajemen pemerintahan kita. Di antara sekian jumlah kelemahan dan kerapuhan itu, kita mewariskan generasi yang juga miskin dan rapuh melalui kisah pendidikan sejak dari taman kakak-kanak hingga perguruan tinggi yang seakan terhenti dan pingsan.

Kita menjadi bangsa yang saling "mencuriga". Setiap orang atau kelompok masyarakat, sama sekali tak memiliki dorongan dari dalam atau tak memiliki inisiatif memadamkan api kebakaran lahan di sekitar rumah dan kediaman mereka. Sebab, mereka takut menjadi tertuduh pembakar lahan pula. Solidaritas sosial itu seakan mati, karena aparat penegak hukum, main tuduh dan tangkap saja. Akhirnya, yang tersisa untuk melakukan tindakan pemadaman api kebakaran diserahkan kepada aparat, sejak dari BNPB dan turunannya, tentara dan aparat kepolisian (birmob). Kita tak melihat lagi spontanitas masyarakat untuk memadamkan api kebakaran lahan dan hutan di sekitar kampung mereka. Sebab, tindakan pemadaman, bisa menjadi petaka pula bagi mereka. Walhasil, kita adalah wakil dari wajah bangsa yang kepai, yang tak berdaya ketika berdepan dengan bencana. Apatah lagi menjinakkan bencana atau meminimal akibat dari bencana yang tengah berlangsung.

Kini, pemerintah berinisiatif di tengah bencana yang kian meluas, dengan jalan melakukan pengungsian alias evakuasi ke tempat-tempat yang disediakan dan aman dari terpaan asap, terutama kepada bayi dan orang-orang tua yang rentan terhadap bahaya asap dan pernafasan. Secara taktis, evakuasi memang sebuah penyelesaian efektif dalam jangka pendek. Namun, bukanlah sebuah penyelesaian jangka panjang. Evakuasi yang berlangsung dalam modus bergerak (mobile) seperti penyediaan kapal-kapal perang di beberapa tempat, hanyalah penyelesaian bersifat sementara. Ditambah lagi, pemindahan atau evakuasi ke kapal-kapal perang yang sandar di beberapa pelabuhan, bukanlah pekerjaan mudah bagi gerak pergi dan pulang orang-orang terdampak asap yang tinggal di pedalaman, kampung-kampung di hulu-hulu sungai untuk menuju kapal sandar di kota-kota pelabuhan yang terletak di muara sungai dan pesisir.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook