TAUFIK IKRAM JAMIL

Mendebat Debat

Riau | Minggu, 29 April 2018 - 12:11 WIB

Mendebat Debat

Kental berwarna lokal, mulai dari lagu, jingle, dan slogan, ternyata hanya satu paslon yang melengkapi semuanya itu dengan menggunakan pakaian Melayu. Ini memang simbol, tetapi melaluinya pula sesuatu dapat diungkapkan secara umum. Di situ bertemu antara hasrat dengan tindakan, bersambung antara ide dengan kenyataan.  

Barangkali, ihwal berkaitan dengan pakaian tersebut sebagai bentuk suatu wujud distorsi. Dalam penciptaan kreatif, distorsi menciptakan disharmornis yang justeru menghasilkan harmonisasi ketika antardiharmonis dibenturkan dengan tetap mengacu pada simbol awal. Ini jugalah mungkin agaknya yang hendak ditampilkan ketika salah seorang komisionir terlihat memakai jaket, berbeda dengan komisionir lain dengan baju setengah resmi.

“Ini kan bukan pemindahan tempat kampanye, yang malahan lengkap,” tulis Wahab. Kelengkapan itu, sambungnya, memperlihatkan bahwa debat tersebut bisa ditinjau dari seni pertunjukan, sama juga halnya dengan berpidato atau disebut orang seni berpidato. Unsur-unsur sekitar, harus menjadi perhitungan.
Baca Juga :Maju Pilkada, Yuyun Hidayat akan Melihat Hasil Pileg 2024

Disebutkan Wahab, bagaimana pemilihan warna baju misalnya, tak bisa dipandang enteng saat memandang debat tidak semata sebagai ajang diskusi, tetapi juga tontonan. Untuk menampilkan keglamoran, menarik perhatian, di bawah cahaya lampu sekian watt, warna pakaian jangan menimbulkan pucat, apalagi kekusaman. Kebetulan warna kucing akan melempar cahaya pada malam, apalagi ditimpa cahaya, sehingga akan terlihat menonjol.

Belum lagi berkaitan dengan gerak tubuh paslon, bahkan bagaimana mereka mengisi ruang atau sadar tempat. Bagaimana podium di depan mereka dapat terbagi, sehingga tak ada terlihat bagaimana sosok lain seperti terketepikan. Bisik-bisik paslon, dapat menimbulkan kesan negatif kepada penonton.

Lain lagi dengan teriakan-teriakan penonton yang besar kemungkinan adalah pendukung masing-masing calon, menjadikan publik itu bukan sebagai ajang intelektual, malahan sebagai pertandingan suatu cabang olahraga tertentu. Apalagi saat penutup, ketika di antara pendukung itu, ada yang sampai naik kursi sebagaimana ditangkap kamera secara nyata.

Banyak lagi yang dikatakan Wahab, termasuk pembilang (MC) Chacha Annisa, yang terkesan tegang. Begitu pula pantun dari Ketua KPU Riau, Dr Nurhamin dalam setiap pergantian segmen  yang hanya mengandalkan bunyi, bukan tubuh utuh suatu pantun. “Tapi sudahlah. Lagi pula tanpa debat ini pun, pilkada tetap bisa dijalankan kan? Makin banyak aku katakan, nanti kesannya mendebat debat. Iya kan?” ungkap Wahab. 

Saya masih memikirkan pesan-pesan pendeknya mengenai debat itu. Anda sendiri?*** 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook