APA boleh buat, kawan saya Abdul Wahab, tak dapat menonton debat publik pasangan calon (paslon) gubernur maupun wakil gubernur Riau yang dilaksanakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Riau, Jumat lalu, mulai dari awal. “Usahlah aku sebutkan alasannya,” tulis Wahab dalam pesan pendeknya melalui telepon genggam.
Selanjutnya ia mengaku, meskipun demikian, tak kurang satu setengah jam ia dapat menyaksikan kegiatan tersebut yang konon menjadi wajah segar dalam demokrasi. Suatu rentang waktu yang tak sedikit tanya, juga tak sedikit kecewa. Suatu rentang waktu yang bersulang antara keraguan dengan keyakinan.
Terlepas dari terminologinya, bagi Wahab, kegiatan itu penting. Ia dapat mendengar dan melihat bagaimana paslon gubernur dan wagub berhujah alias beragumentasi. Selari dengan maksud perdebatan untuk menghasilkan suatu pemikiran, debat yang dilihatnya itu diakuinya sebagai wadah untuk mempertimbangkan pilihan terhadap paslon.
Cuma kesan yang ditangkap Wahab, apa yang dinamakan debat tersebut, terasa hambar. Di antara penyebabnya adalah, paslon yang bertanya kepada paslon lain tidak diberi kesempatan untuk menanggapi balik terhadap jawaban atas pertanyaan. Jawaban dari suatu pertanyaan, seolah-olah lepas begitu saja, tidak ditanggapi balik. Selah-olah, paslon yang bertanya sudah cukup dengan jawaban paslon lainnya.
Dengan demikian, jadilah perdebatan itu sebagai arena menerangkan sesuatu dari suatu perkara—bukan mencari jalan terbaik untuk kemaslahan bersama. Dari kegiatan itu tidak terjadi apa yang disebut adu argumentasi terhadap suatu masalah. Meskipun demikian patut diakui bahwa akibat berbagai keterbatasan, debat tersebut sulit diharapkan untuk menghasilkan suatu pemikiran yang cemerlang bagi Riau ke depan.
Terlepas dari hal itu, Arsyadjuliandi Rahman dapat menggunakan kesempatan menerangkan Riau di bawah kepemimpinannya. Ia misalnya menerangkan soal panjang jalan, indeks pembangunan manusia, dan pengurangan angka kemiskinan. Malahan, pembicaraan mengenai beberapa ihwal, misalnya pariwisata dari paslon lain, justeru memperkuat apa yang telah dibuat oleh Andi dalam dua tahun terakhir—menjadikannya sebagai primadona pembangunan Riau setelah migas tak bisa diharapkan benar.
Hal tersebut dikemukakan Andi tanpa dapat dikoreksi paslon lain. Padahal, sebagai petahana, tentu saja banyak perkara yang bisa diajukan kepadanya, misalnya berkaiitan dengan indikator kemiskinan. Belum lagi soal perlambatan pertumbuhan ekonomi, bahkan sisa anggafaran pembangunan yang besar dalam beberapa tahun terakhir.
Begitu pula sebaliknya, Andi tidak dapat menjelaskan ketika bagaimana pembangunan listrik sebenarnya menjadi urusan pemerintah pusat melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN)-nya. Begitu juga menyangkut bagaimana usaha pemerintah melalui BUMN tersebut memiliki azam membebaskan desa di Riau dari kegelapan tahun depan yang justeru telah dicanangkan tahun lalu.
Selanjutnya, Wahab merasa terganggu oleh iklan yang diputar berkali-kali dengan cogan yang serupa dengan seruan pemilik salah satu paslon. Ini semakin lengkap karena meskipun lebih dahulu, hal tersebut juga serupa dengan seruan resmi KPU agar orang menggunakan hak pilihnya. Begitu pula penyebutan tanjak dalam pantun pembawa acara terkesan lain karena kebetulan sekali, satu dari empat paslon, memakai tanjak.