PENGHITUNGAN SUARA TETAP SATU PANEL

Perppu Percepat Pilkada Serentak Resmi Diusulkan

Politik | Jumat, 22 September 2023 - 09:12 WIB

Perppu Percepat Pilkada Serentak Resmi Diusulkan
(SUMBER: REPORTASE JAWA POS/GRAFIS:AIDIL ADRI)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Mereka yang berminat running menjadi bupati/wabup, wali kota/wawali, dan gubernur/wagub, tampaknya harus bersiap lebih awal. Sebab, pemerintah berencana memajukan jadwal Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024.

Dari semula November 2024 menjadi September 2024.


Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) Perubahan Jadwal Pilkada Serentak 2024 tersebut sudah disampaikan Mendagri Tito Karnavian dalam rapat dengar pendapat (RDP) di Komisi II DPR, Rabu (20/9) malam. ’’Usulan memajukan pemungutan suara pilkada tersebut didasarkan pada beberapa alasan,’’ ujar Tito.

Salah satunya, kata Tito, mencegah terjadinya kekosongan jabatan kepala daerah yang masif. Percepatan pelaksanaan pilkada juga diharapkan mempercepat sinkronisasi dokumen perencanaan anggaran pemerintah. ”Baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, termasuk juga (sinkronisasi) visi-misi kepala daerah,” kata mantan Kapolri itu.

Usulan memajukan jadwal pilkada, lanjut dia, juga didasarkan pertimbangan waktu penyelesaian proses sengketa pilkada sampai ke penentuan pemenang sebelum 1 Januari 2025. Selain itu, terkait persoalan sistem pemerintahan yang tidak paralel antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Hal tersebut terjadi karena pemimpin-pemimpin baru di daerah menyusun rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPMJD) yang tidak sinkron antara pusat dan daerah-daerah lain.

Menanggapi usulan tersebut, anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDIP Cornelis meminta Kemendagri untuk mengkaji ulang. Menurut dia, jadwal pilkada sebelumnya sudah disepakati pada 27 November 2024. Penentuan tanggal itu sudah dibahas pemerintah bersama ketua umum partai politik. ”Kalau saya melihat, argumentasinya tidak terlalu logis,” ujarnya.

Berbeda dengan Cornelis, Wakil Ketua Komisi II DPR dari PPP Syamsurizal mendukung penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024 dimajukan ke September. Dia beralasan, hal tersebut bertujuan untuk menyeragamkan dokumen perencanaan dan penyelenggaraan pemerintahan. Mulai tingkat pusat sampai ke daerah.

Sebelum menyepakati perubahan jadwal Pilkada Serentak 2024, Komisi II DPR bersama Kemendagri, KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bakal membahasnya pada rapat-rapat berikutnya.

Dalam kesempatan itu, anggota Bawaslu RI Puadi berharap, perubahan yang nanti menjadi Undang-Undang tersebut harus benar-benar memperhatikan mitigasi risiko. ”Satu sisi, kita semua ingin sukses Pemilu (pemilu presiden dan pemilu legislatif) 2024, tapi juga (harus) sukses pilkada,” ungkapnya.

Sementara itu, terkait masa pendaftaran calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), DPR dan pemerintah akhirnya menyepakati dilakukan pada 19–25 Oktober 2023. Sebelumnya, sempat mengemuka opsi lain, yakni pada 10–16 Oktober. Adapun jadwal penetapan pasangan capres-cawapres 13 November. Lalu, penetapan nomor urut pasangan calon dilaksanakan 14 November.

Usulan KPU terkait masa pendaftaran calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres) dilaksanakan pada 19-25 Oktober 2023 resmi disetujui DPR dan pemerintah. Dalam rapat konsultasi di Komisi II DPR Rabu (20/9) malam, juga menyepakati metode penghitungan suara pemilu 2024 satu panel, bukan dua panel sebagaimana usulan KPU sebelumnya.

Terkait jadwal pendaftaran capres-cawapres, Ketua KPU Hasyim Asy’ari menyebut pembukaan pendaftaran capres-cawapres pada 19 Oktober tersebut sama dengan skema awal yang diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 3/2022 tentang Jadwal dan Tahapan Pemilu 2024.

Sebelumnya, KPU juga menawarkan opsi masa pendaftaran capres-cawapres pada 10-16 Oktober. Opsi tersebut lantas dikonsultasikan ke Komisi II DPR dalam bentuk Rancangan PKPU tentang Pencalonan Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Dalam rancangan PKPU itu juga mengatur jadwal penetapan capres-cawapres, yakni 13 November mendatang. Kemudian dilanjut penetapan nomor urut pasangan calon (paslon) di hari berikutnya, yakni 14 November. Dalam rapat tersebut, tanggal itu juga disetujui oleh DPR dan pemerintah.

Selain rancangan PKPU terkait pencalonan capres-cawapres, dalam rapat konsultasi itu juga disepakati rancangan PKPU tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara untuk pemilu 2024. Poin-poin yang disepakati salah satunya terkait dengan metode penghitungan suara. DPR mengisyaratkan agar penghitungan suara menggunakan metode satu panel.

Sebelumnya, KPU menawarkan opsi metode penghitungan suara dua panel untuk pemilu 2024. Namun, menurut Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia, opsi tersebut punya beberapa konsekuensi. Salah satunya, mengharuskan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk menyiapkan perangkat pengawasan penghitungan suara dua panel.

”Bagaimana cara membagi satu pengawas melihat dua panel?” kata anggota DPR Fraksi Golkar tersebut. Dia pun mengusulkan kepada KPU agar tidak menerapkan metode penghitungan suara dua panel pada pemilu kali ini. Tapi pada pemilu berikutnya. ”Lebih baik Pemilu 2024 ini kita samakan (dengan) yang kemarin (Pemilu 2019), tetap satu panel,” ujarnya.

Hasyim menjelaskan, opsi penghitungan suara model dua panel sejatinya disusun untuk mengurangi beban anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Metode tersebut diperuntukkan agar penghitungan suara di tempat pemungutan suara (TPS) bisa lebih cepat.

Namun karena DPR meminta untuk menggunakan metode satu panel, Hasyim pun sudah menyiapkan strategi agar kejadian meninggalnya ratusan anggota KPPS pada 2019 lalu tidak terulang. Salah satu strateginya adalah memperhatikan usia dan kondisi kesehatan sebagai syarat anggota KPPS.

Dalam paparannya, Hasyim menjelaskan bahwa dua panel itu masing-masing untuk menghitung suara hasil pilpres dan pemilihan anggota DPD (Panel A). Kemudian untuk Panel B untuk menghitung hasil pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Sementara itu, Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraeni menyatakan skema penghitungan suara dua panel memang berdampak pada berkurangnya akses masyarakat terhadap transparansi dan partisipasi untuk mengikuti seluruh penghitungan suara di TPS.

Sebagai contoh, ketika penghitungan suara pilpres berlangsung, maka masyarakat partisipasi masyarakat untuk mengikuti penghitungan suara DPR dan DPRD. “Sebagai pemilih atau pemantau kalau datang sendirian, maka hanya bisa mengikuti salah satu (penghitungan saja, red),” ujarnya kepada Jawa Pos (JPG).

Titi menyebut mekanisme dua panel juga memerlukan fasilitasi TPS yang cukup luas dan memadai. Mengacu pada pemilu sebelumnya, kondisi itu tidak memungkinkan dilakukan pada TPS yang lokasinya sempit. “Yang kalau (TPS) dibagi dua akan sangat mengurangi keleluasaan mobilitas petugas,” paparnya.(tyo/c6/hud/jpg)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook