UMP Riau Bisa Berubah, Kemenaker Akan Keluarkan Aturan Baru

Riau | Kamis, 17 November 2022 - 13:22 WIB

UMP Riau Bisa Berubah, Kemenaker Akan Keluarkan Aturan Baru
Imron Rosyadi (DOK RIAUPOS.CO)

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Upah Minimum Provinsi (UMP) Riau 2023 sudah di­sepakati, Rabu (15/11) yakni naik menjadi Rp3.105.000. Namun, kesepakatan terancam berubah. Pasalnya, penolakan serikat pekerja/buruh terhadap penggunaan peraturan pemerintah (PP) 36/2021 dalam penetapan upah minimum provinsi/kabupaten (UMP/UMK) 2023 bulat dan tak bisa diganggu gugat.

Kepala Disnakertrans Riau Imron Rosyadi mengatakan, pihaknya baru saja mendapatkan informasi bahwa pada Jumat besok, Kemendagri dan Kemenaker akan mengeluarkan aturan baru terkait penetapan UMP. Dengan adanya aturan baru tersebut, bisa saja UMP Riau yang sudah ditetapkan diubah kembali.


"Kita tunggu saja pengumuman adanya aturan baru soal penetapan UMP. Nanti jika sudah ada, maka kami akan rapat lagi untuk penetapan UMP di Riau. Jadi UMP yang sudah ditetapkan kemarin, bisa diubah lagi," katanya, Rabu (16/11).

Diberitakan sebelumnya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau bersama dewan pengupahan telah selesai melaksanakan rapat pembahasan upah minimum provinsi (UMP) Riau 2023, Selasa (15/11). Dari hasil rapat tersebut, disepakati bahwa UMP Riau tahun 2023 naik sebesar 5,96 persen dari tahun 2022.

Imron Rosyadi mengatakan, jika UMP Riau tahun 2022 ditetapkan sebesar Rp2.938.564. Untuk UMP Riau tahun 2023 naik menjadi Rp3.105.000. Dalam rapat penetapan UMP tersebut juga melibatkan Apindo, Serikat Pekerja, BPJS dan BPS.

"Penghitungan UMP Riau tahun 2023 masih menggunakan formulasi yang lama. Yakni PP 36 tahun 2021 tentang Pengupahan. Hasilnya seluruh peserta sidang sepakat UMP Riau naik 5,96 persen menjadi Rp3.105.000," katanya, Selasa (15/11).

Lebih lanjut dikatakannya, dengan sudah ditetapkannya UMP Riau 2023, maka pihaknya akan segera menyiapkan Surat Keputusan (SK) Gubernur Riau perihal penetapan UMP Riau 2023. "Nanti kami buat SK-nya, kemudian direkomendasikan untuk ditetapkan. Karena sesuai Undang-Undang, SK penetapan UMP itu yang menetapkan gubernur," ujarnya.
Setelah UMP ditetapkan nantinya, maka UMP tersebut selanjutnya akan menjadi acuan bagi pemerintah kabupaten/kota untuk menetapkan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Di mana penetapan UMK harus lebih besar dari UMP. "Kalau mau disahkan, UMK harus lebih besar dari UMP penetapannya," sebutnya.

Jika SK Gubernur tentang penetapan UMP Riau tahun 2023 sudah dikeluarkan, pihaknya akan langsung menyurati pemerintah kabupaten/ kota dan perusahaan agar UMP itu bisa dijalankan mulai awal tahun depan. "Kami minta kepada seluruh perusahaan di Riau mulai Januari 2023 pembayaran gaji karyawan harus mempedomani UMP Riau yang sudah ditetapkan dan disepakati bersama," ujarnya.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal. Dia secara tegas menyebutkan, induk dari PP 36/2021 yakni Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) sudah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi. 

Artinya, PP 36/2021 tidak dapat digunakan sebagai acuan dalam penetapan UMP/UMK 2023. "Jadi ini tidak bisa dipakai," tegasnya dalam konferensi pers secara daring, Rabu (16/11).

Selain itu, penggunaan PP 36/2021 dalam penetapan UMP/UMK 2023 dinilai tidak relevan. Sebab, daya beli buruh saat ini sudah turun hingga 30 persen akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan tak adanya kenaikan upah dalam 3 tahun berturut-turut. Dia menjelaskan, perhitungan dengan formula yang ada di PP 36/2022 tidak akan sanggup mendongkrak kembali penurunan tajam tersebut.

Pasalnya, ketika PP 36/2021 yang dipakai maka nilai kenaikan UMP/UMK akan berada di bawah nilai inflasi. Yakni, 2-4 persen saja. Alhasil, daya beli buruh akan semakin terpuruk. Inflasi sendiri secara umum diperkirakan mencapai 6,5 persen. "Matematika apa yang dipakai Apindo? Dan hatinya di mana? Pikirannya di mana? Tidak berpihak pada buruhnya sendiri," keluhnya.

Di sisi lain, lanjut dia, jika bicara inflasi maka perlu diperhatikan jika inflasi dari 3 konsumsi utama buruh sudah jauh di atas inflasi umum. Misal, inflasi transportasi sudah mencapai 30 persen, sewa rumah naik hingga 12,5 persen, dan makanan sebesar 15 persen. Kendati demikian, buruh masih mau untuk menggunakan nilai inflasi umum asal tidak menggunakan PP 36/2021 dalam perhitungannya. "Kalau menggunakan PP 36, kenaikannya hanya 2-4 persen. Tidak mungkin menggunakan itu. Masa naik upah di bawah inflasi. Ngawur," tegasnya lagi.

Karena PP 36 tahun 2021 tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum, maka pekerja/buruh menyarankan dua dasar hukum yang bisa digunakan oleh pemerintah. Pertama, pemerintah bisa kembali menggunakan PP No 78 Tahun 2015. Di mana, kenaikan upah minimum besarnya dihitung dari nilai inflasi ditambah besarnya pertumbuhan ekonomi. Kedua, Menaker mengeluarkan peraturan menteri ketenagakerjaan (permenaker) khusus untuk menetapkan UMP/UMK Tahun 2023, yang tentunya tak hanya menguntungkan pengusaha tapi juga mengakomodasi nasib pekerja/buruh.

Dalam kesempatan itu, Said juga menyinggung soal alasan resesi global yang digaungkan pengusaha agar perhitungan pengupahan menggunakan PP 36/2021. Dia menilai hal itu hanya akal-akalan saja. Sebab, berdasarkan data yang ada, resesi tidak akan berdampak nyata pada Indonesia.

"Resesi itu terjadi jika dalam dua kuartal berturut-turut pertumbuhan ekonominya negatif. Sedangkan saat ini pertumbuhan ekonomi kita selalu positif," jelas pria yang juga menduduki jabatan presiden Partai Buruh tersebut.

Litbang Partai Buruh sendiri memprediksi, pertumbuhan ekonomi bisa berkisar antara 4-5 persen Januari-Desember 2022. Jika inflasi 6,5 persen dan pertumbuhan ekonomi 4-5 persen, maka harusnya kenaikan UMP/UMK di atas 6,5 persen hingga 13 persen. "Dengan kata lain, kenaikannya harus lebih tinggi dari angka inflasi dan ditambah dengan alfa (atau pertumbuhan ekonomi)," ujarnya.(das)
 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook