Selain Satgas Karhutla, pemadaman itu dilakukan oleh masyarakat peduli api (MPA). Tak hanya itu, ikut berjibaku dalam memadamkan api dari personel kepolisian, TNI dan Manggala Agni. Tim ini menggunakan peralatan yang dibantu BRG. “Peralatan dibantu BRG pada awal tahun kemarin. Pompa, selang dan perlengkapan kerja lainnya. Kita bersyukur ini bisa bermanfaat dan barangkali nanti bisa kita diskusikan apalagi yang harus disiapkan,” ujarnya.
Katanya, pihaknya lebih kepada upaya pembasahan lahan gambut. Pembasahan ini untuk mengurangi risiko karhutla, serta membantu tim Satgas Karhutla dalam reaksi cepat. Dalam pembasahan gambut ini, ada yang diprioritaskan.
“Ada perencanaan yang dilakukan Pemprov Riau, di mana area prioritas yang harus dibasahi dan restorasi tahun ini. Peta lengkapnya ada. Dan itu didiskusikan bersama dengan Pemprov,” ujarnya.
Dia mengakui, restorasi gambut tidak bisa dalam waktu yang singkat. Minimal, perlu waktu selama lima tahun untuk pemulihan gambut yang rusak. “Maksimal 30 tahun. Kalau kita belajar dari negara lain Amerika, Eropa lebih dari 30 tahun belum tuntas atauselesai,” ujarnya.
Beberapa tahun terakhir, sudah ada sejumlah wilayah di Riau yang diintervensi oleh BRG. Dari hasilnya, terlibat kawasan yang dimasuki oleh BRG, mengalami penurunan kebakaran.
“Tapi paling tidak, kalau pembasahan air sudah mulai naik, yang terbakar hanya permukaan. Setiap tahun, air gambut semakin naik. Sehingga pada tahun tertentu sudah kembali berupa rawa,” ujarnya.
Dalam hal ini, pihaknya juga melakukan kajian. Mereka bekerja sama dengan pihak universitas. “Tentunya kajian tersebut dimasukkan pemerintah dalam bahan pertimbangan,” kata Nazir.
Ditanya soal total luas lahan gambut yang terbakar selama 2018, Nazir Foead belum mengetahuinya. “BRG belum tahu luasan kebakaran. Kita masih memantau titik api yang muncul,” sebut Nazir. “Yang kami pantau itu lebih pada kekeringan. Kalau kebakaran itu lebih kepada BNPB, BPBD. Kami lebih membasahi gambut agar tidak terbakar,” sambungnya.