JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan grasi kepada terpidana korupsi kasus alih fungsi lahan Annas Maamun terus menuai kritik. Apalagi, belakangan diketahui bahwa Annas juga terseret kasus lain yang ditangani KPK. Yakni, suap kepada anggota DPRD Riau terkait pembahasan RAPBD 2014 dan RAPBD tambahan tahun 2015 Provinsi Riau.
Deputi Direktur Indonesia Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar mengatakan, fakta tersebut membuktikan bahwa proses pemberian grasi di Indonesia belum transparan. Meski grasi menjadi kewenangan eksklusif Presiden, idealnya, keputusannya melalui proses yang transparan.
"Itu tidak dipenuhi secara substansi untuk grasi yang diberikan Presiden kepada Annas. Padahal, ternyata dia diketahui terlibat juga dalam kasus korupsi lainnya," ujarnya, Ahad (1/12).
Erwin menjelaskan, dalam konstitusi memang hanya disebutkan bahwa Presiden perlu meminta pertimbangan Mahkamah Agung (MA). Namun, lanjut dia, Presiden bisa membuat sistem tersendiri jika memang ada keinginan untuk membuat prosesnya transparan. Misalnya, melibatkan KPK dalam proses grasi terpidana korupsi.
Jika prosesnya transparan, kata Natosmal, publik menjadi tercerahkan dan tidak terus menduga-duga. Dalam proses pemberian grasi kepada Annas, pemerintah hanya memberikan informasi yang sepotong-sepotong.
"Kalau alasan sakit harus ada rekomendasi dokter. Nggak bisa kita dengar dia sakit saja. Harus ada evaluasi medis dan itu harus dituangkan dalam grasi tadi," ujarnya.
Karena itu, pihaknya mendesak ada evaluasi dalam proses pemberian grasi. Sebelumnya Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, meski Annas diberi grasi, namun tidak memengaruhi proses hukum pada kasus lain yang juga menjeratnya. Penyidikan kasus itu, kini telah rampung dan masuk ke pelimpahan tahap pertama. “Penyidikannya sudah hampir selesai. Semoga dalam waktu tidak terlalu lama bisa masuk ke pelimpahan tahap kedua dan kemudian diproses di persidangan,” jelas Febri.
Sementara itu, Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman mengatakan, pemberian grasi yang dilakukan Presiden tidak diputuskan sendiri. Namun mempertimbangkan pendapat MA dan Menkopolhukam. Soal adanya kasus lain yang melibatkan Annas, pemerintah menunggu prosesnya. "Kalau ada perkembangan lebih lanjut, nanti kita lihat apa yang dilakukan KPK," ujarnya.
Fadjroel enggan berspekulasi terkait kemungkinan pencabutan grasi. "Kita akan melihat saja. Kita akan melihat perkembangannya," kata Komisaris Utama PT Adhi Karya itu.
Sebagaimana diketahui, Presiden Jokowi memberikan grasi kepada Annas berupa potongan masa tahanan dari tujuh tahun menjadi enam tahun. Dengan grasi tersebut, Annas yang saat ini mendekam di Lapas Sukamiskin Bandung diprediksi bebas pada Oktober 2020.(far/fal/jpg)