Dalam hidup ini, manusia selalu menghadapi berbagai cobaan, bahkan ada yang cukup kepayahan dalam menghadapinya. Sabar adalah sebuah kata yang mampu menghibur hati yang duka dan membalut luka yang menganga. Tapi jangan salah dalam mengaplikasikannya dalam kehidupan dunia ini. Jangan sampai seperti firqah (golongan) Jabbariyyah yang berpemahaman bahwa manusia itu dipaksa Allah untuk berbuat dan manusia tidak punya daya upaya.
Apa sebenarnya sabar yang benar itu menurut Islam? Apakah hanya pasrah kepada takdir atau bagaimana? Lantas apa sajakah jenis-jenis sabar itu? Berikut pembahasan sederhana dan ringkas tentang sabar. Agar kita menjadi penyabar sejati di bawah bimbingan syariat ilahi. Tidak berputus asa dari rahmat Allah yang tak pernah putus.
Allah Ta’ala berfirman,“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran kalian dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negeri kalian) dan bertakwalah kepada Allah supaya kalian beruntung.” (Ali ‘Imran: 200)
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 155)
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Az-Zumar: 10)
“Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.” (Asy-Syuuraa: 43)
“Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) salat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 153)
“Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kalian agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kalian.” (Muhammad: 31)
Ash-Shabr (sabar) secara bahasa artinya al-habsu (menahan), dan di antara yang menunjukkan pengertiannya secara bahasa adalah ucapan qutila shabran yaitu dia terbunuh dalam keadaan ditahan dan ditawan. Sedangkan secara syariat adalah menahan diri atas tiga perkara: Pertama yaitu (sabar) dalam mentaati Allah, kedua yaitu (sabar) dari hal-hal yang Allah haramkan, dan ketiga yaitu (sabar) terhadap takdir Allah yang menyakitkan. Inilah macam-macam sabar yang telah disebutkan oleh para ulama.
Jenis sabar yang pertama yaitu hendaknya manusia bersabar terhadap ketaatan kepada Allah karena sesungguhnya ketaatan itu adalah sesuatu yang berat bagi jiwa dan sulit bagi manusia. Memang demikianlah kadang-kadang ketaatan itu menjadi berat atas badan sehingga seseorang merasakan adanya sesuatu dari kelemahan dan keletihan ketika melaksanakannya. Demikian juga padanya ada masyaqqah (sesuatu yang berat) dari sisi harta seperti masalah zakat dan masalah haji.
Yang paling penting, bahwasanya ketaatan-ketaatan itu padanya ada sesuatu dari masyaqqah (kesulitan) bagi jiwa dan badan, sehingga perlu kepada kesabaran dan kesiapan menanggung bebannya, Allah berfirman:“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran kalian dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negeri kalian) dan bertakwalah kepada Allah supaya kalian beruntung.” (Aali ‘Imraan: 200)
Allah juga berfirman, “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan salat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (Thaha: 132)
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Alquran kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-angsur. Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu.” (Al-Insaan: 23-24)
Ayat ini menerangkan tentang sabar dalam melaksanakan perintah-perintah, karena sesungguhnya Alquran itu turun kepadanya agar beliau (Rasulullah) menyampaikannya (kepada manusia), maka jadilah beliau orang yang diperintahkan untuk bersabar dalam melaksanakan ketaatan.
Allah Ta’ala berfirman: “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya.” (Al-Kahfi: 28)
Ini adalah sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah. Jenis sabar yang kedua yaitu bersabar dari hal-hal yang Allah haramkan sehingga seseorang menahan jiwanya dari apa-apa yang Allah haramkan kepadanya. Karena sesungguhnya jiwa yang cenderung kepada kejelekan itu akan menyeru kepada kejelekan, maka manusia perlu untuk mengekang dan mengendalikan dirinya, seperti berdusta, menipu dalam bermuamalah, memakan harta dengan cara yang batil, dengan riba dan yang lainnya, berbuat zina, minum khamr, mencuri dan lain-lainnya dari kemaksiatan-kemaksiatan yang sangat banyak.
Maka manusia harus menahan diri dari hal-hal tadi jangan sampai mengerjakannya dan ini tentunya perlu kesabaran dan perlu pengendalian jiwa dan hawa nafsu. Di antara contoh dari jenis sabar yang kedua ini adalah sabar Nabi Yusuf AS dari ajakan istri Al-Aziiz (Raja Mesir) ketika dia mengajak (zina) kepada beliau AS di tempat miliknya, yang padanya ada kemuliaan dan kekuatan serta kekuasaan atas Nabi Yusuf, lantas Nabi Yusuf bersabar dan berkata: “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (Yuusuf: 33)
Maka ini adalah kesabaran dari kemaksiatan kepada Allah. Jenis sabar yang ketiga yaitu sabar terhadap takdir Allah yang menyakitkan (menurut pandangan manusia). Karena sesungguhnya takdir Allah Azza wa Jalla terhadap manusia itu ada yang bersifat menyenangkan dan ada yang bersifat menyakitkan.
Takdir yang bersifat menyenangkan harus kita syukuri, sedangkan syukur itu sendiri termasuk dari ketaatan, sehingga sabar baginya termasuk dari jenis yang pertama (yaitu sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah). Adapun takdir yang bersifat menyakitkan yaitu yang tidak menyenangkan manusia, seperti seseorang yang diuji badannya dengan adanya rasa sakit atau yang lainnya, diuji pada hartanya –yaitu kehilangan harta-, diuji pada keluarganya dengan kehilangan salah seorang keluarganya ataupun yang lainnya dan diuji di masyarakatnya dengan difitnah, direndahkan ataupun yang sejenisnya.
Keadaan Manusia ketika Menghadapi Musibah
Sesungguhnya manusia di dalam menghadapi dan menyelesaikan musibah ada empat keadaan. Pertama adalah marah. Kedua adalah bersabar. Ketiga adalah rida. Keempat adalah bersyukur. Inilah empat keadaan manusia ketika ditimpa suatu musibah.
Pertama, yaitu marah baik dengan hatinya, lisannya ataupun anggota badannya. Adapun marah dengan hatinya yaitu dalam hatinya ada sesuatu terhadap Rabb-nya dari kemarahan, perasaan jelek atau buruk sangka kepada Allah - dan kita berlindung kepada Allah dari hal ini- dan yang sejenisnya bahkan dia merasakan bahwa seakan-akan Allah telah menzaliminya dengan musibah ini.
Adapun dengan lisan, seperti menyeru dengan kecelakaan dan kebinasaan, seperti mengatakan “Kurang ajar” atau “cilako”, atau dengan mencela masa (waktu), yang berarti dia menyakiti Allah Azza wa Jalla dan yang sejenisnya.
Adapun marah dengan anggota badan seperti menampar pipinya, memukul kepalanya, menjambak rambutnya atau merobek bajunya dan yang sejenis dengan ini. Inilah keadaan orang yang marah yang merupakan keadaannya orang-orang yang berkeluh kesah yang mereka ini diharamkan dari pahala dan tidak akan selamat (terbebas) dari musibah bahkan mereka ini mendapat dosa.
Maka jadilah mereka orang-orang yang mendapatkan dua musibah yaitu musibah dalam agama dengan marah dan musibah dalam masalah dunia dengan mendapatkan apa-apa yang tidak menyenangkan.
Kedua, yaitu bersabar terhadap musibah dengan menahan dirinya (dari hal-hal yang diharamkan). Dalam keadaan dia membenci musibah dan tidak menyukainya dan tidak menyukai musibah itu terjadi akan tetapi dia bersabar (menahan) dirinya sehingga tidak keluar dari lisannya sesuatu yang dibenci Allah dan tidak melakukan dengan anggota badannya sesuatu yang dimurkai Allah serta tidak ada dalam hatinya sesuatu (berprasangka buruk) kepada Allah selama-lamanya. Dia tetap bersabar walaupun tidak menyukai musibah tersebut.
Ketiga, rida, di mana keadaan seseorang yang rida itu adalah berlapang dada dengan musibah ini dan rida dengannya dengan rida yang sempurna dan seakan-akan dia tidak terkena musibah tersebut.
Keempat, bersyukur, yaitu dia bersyukur kepada Allah atas musibah tersebut. Rasulullah apabila melihat sesuatu yang tidak disukainya, beliau mengatakan: “Segala puji bagi Allah dalam setiap keadaan.”
Maka dia bersyukur kepada Allah dari sisi bahwasanya Allah akan memberikan kepadanya pahala terhadap musibah ini lebih banyak dari apa-apa yang menimpanya. Sebagian ahli ibadah menyebutkan bahwasanya jarinya terluka lalu dia memuji Allah terhadap musibah tersebut, maka orang-orang berkata: “Bagaimana engkau memuji Allah dalam keadaan tanganmu terluka?” Maka dia menjawab: “Sesungguhnya manisnya pahala dari musibah ini telah menjadikanku lupa terhadap pahitnya rasa sakitnya.”***