Kebaikan dan Fikih Prioritas

Petuah Ramadan | Sabtu, 08 April 2023 - 11:00 WIB

Kebaikan dan Fikih Prioritas
Muhammad Ikhsan, Dosen Universitas Riau (ISTIMEWA)

Bulan Ramadan ini kita dianjurkan untuk banyak-banyak melakukan amal kebaikan.  Selain dari amalan yang wajib seperti puasa, salat, dan zakat, terdapat juga banyak pilihan untuk berbuat kebaikan di bulan Ramadan ini.  Mulai dari memberi makan atau menyantuni fakir miskin, memperbaiki/membangun masjid, menjamu buka puasa, hingga pulang kampung berkumpul bersama keluarga dan orang tua.  

Semuanya adalah perbuatan mulia. Tetapi tidak semuanya bisa kita kerjakan  dan kita penuhi keperluan masing-masing.  Keterbatasan sumber daya, dana, dan tenaga tentu mengharuskan kita untuk memilih mana yang betul-betul prioritas, mendesak, lebih besar manfaatnya, atau menutup lebih banyak mudarat apabila kita melakukannya.


Fikih Al-Awlawiyyat (prioritas) yang pernah dirumuskan oleh Syekh Dr Yusuf Al Qardhawy di dalam bukunya dengan contoh-contoh pada zaman Nabi Muhammad SAW. Juga contoh pada saat sekarang menjadi penting untuk kita pahami dan menjadi pertimbangan kita dalam memprioritaskan kebaikan-kebaikan kita, khususnya di bulan Ramadan ini.

Ada hadis yang artinya: Berjaga dalam jihad selama sehari semalam adalah lebih baik daripada berpuasa dan qiyamul lail selama sebulan (HR Ahmad, Muslim, Turmudzhi). Ada pula yang berbunyi: Sesungguhnya keikutsertaan salah seorang dari kamu dalam jihad di jalan Allah adalah lebih baik daripada salat yang dilakukan olehnya di rumahnya selama 70 tahun (HR Turmudzhi, Hakim).  

Seorang khalifah pada zaman Abasiyyah di Baghdad, pernah bertanya pada seorang ulama tentang apa hukumnya darah udang yang menempel di bajunya? Sang Ulama menjawab: engkau mempersoalkan tentang darah udang, tapi engkau tidak merisaukan darah kaum muslimin yang banyak kau tumpahkan (bunuh).  

Masih banyak contoh-contoh hadis lain yang menunjukkan keutamaan suatu amalan dibandingkan amalan lainnya.  Kenapa itu bisa terjadi? Ternyata diihat dari konteksnya, mana yang lebih prioritas pada waktu itu, di tempat itu dalam kondisi masyarakat seperti itu.

Ternyata penerapan fikih prioritas ini meluas ke banyak bidang kehidupan. Kita sering menemukan di tengah kemiskinan dan kesulitan hidup yang melanda masyarakat, masjid-masjid besar berdiri megah dan direhab berkali-kali.  Orang lebih suka menyumbang ratusan juta untuk pembangunan masjid, tetapi memberi hanya sedikit untuk fakir miskin di sekitarnya.  

Orang suka pergi haji dan umrah berkali-kali, tetapi untuk membiayai sekolah agama dan pesantren yang megap-megap, mereka enggan.  Hati mereka merasa tenang dan khusyuk ketika ada di Tanah Suci, tetapi mereka tidak gelisah ketika melihat banyak pondok yang untuk membangun asramanya saja mesti berutang sana-sini.

Kalau kita tarik yang lebih umum lagi, kita lebih suka membangun kantor dan gedung yang megah daripada mengurusi banjir dan jalan berlobang atau sampah yang berserakan.  Kadang kita lebih suka membeli mobil dinas mewah berharga miliaran daripada membangun jalan di pelosok yang lebar, mulus, dan panjang.  

Di sini, seorang pemimpin dinilai dari sejauh mana ia bisa menerapkan prioritas dalam penggunaan anggarannya.  Karena, sekali ia salah dalam menentukan prioritas maka kesia-siaan, kemubaziran, bahkan penderitaan masyarakat luas akan dirasakan.

Semua pilihan-pilihan amalan di atas adalah baik dan bermanfaat.  Hanya saja, tentu kita harus tahu mana yang lebih prioritas dan dipelukan oleh umat. Tergantung waktu, tempat, dan kondisi masyarakatnya. Di antara dua kebaikan, yang manfaatnya lebih besar dan pengaruhnya lebih luas tentu lebih utama.  

Kepentingan jangka panjang harus didahulukan daripada kepentingan jangka pendek.  Menghindari kebatilan atau dampak buruk harus lebih utama daripada berbuat kemaslahatan. Kepentingan orang banyak harus lebih didahulukan daripada kepentingan pribadi atau golongan.

Pun, bisa jadi juga, menyumbang untuk rehab masjid yang sudah bagus lebih baik daripada
uangnya disimpan saja. Minimal uangnya mengalir bisa dimanfaatkan dan orang dapat bekerja.  Uang yang tersimpan saja, juga lebih baik daripada digunakan untuk kegiatan maksiat dan seterusnya.  

Hal yang sama juga misalnya, pergi umrah jauh lebih baik daripada hanya sekadar jalan-jalan pelesiran ke luar negeri atau hanya sekadar untuk ganti mobil baru, dan seterusnya.  Tetapi tentu kita memilih untuk mendapatkan prioritas yang paling tinggi dari pilihan-pilihan itu.

Gunakan akal dan kearifan dalam memilih. Karena itu, memang betul kata pepatah Melayu: berbuat baik berpada-pada, berbuat jahat sekali tidak. Wallahualam bish-shawab.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook