Puasa adalah ibadah yang menyimpan ikhlas. Berpuasa berarti berjuang untuk mendapatkan perisai yang disebut ikhlas tersebut agar hidup menjadi selamat di dunia atau di akhirat kelak. Puasa punya peran yang amat strategis untuk tujuan itu, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama.
Disebut sangat strategis karena dalam ibadah puasalah terdapatnya perisai diri yang sangat kuat itu. Tidak ada seorangpun akan puasa dalam arti sesungguhnya bila ia tidak ikhlas. Tidak ada riya dalam puasa. Pasalnya, ibadah yang satu ini tidak akan dapat diketahui oleh siapapun selain Tuhan dan orang yang berpuasa itu sendiri.
Pertanyaan kita adalah, di mana ikhlas itu bisa didapat agar iblis tidak leluasa menyantap kita, lalu menjurumuskan ke jurang kesesatan yang nyata? Dalam Surat Al-Hijr Ayat 26-42, Allah bercerita tentang iblis, keangkuhan, dan strategi “politiknya” dalam menundukkan manusia.
Dalam ayat itu dikisahkan bahwa iblis tidak mau tunduk dan sujud kepada manusia, walau Allah memerintahkannya. Dengan angkuhnya iblis berkata, “Aku tidak akan pernah tunduk dan sujud kepada manusia yang Engkau jadikan dari tanah liat berlumpur, sementara aku berasal dari api.”
Ia membangkang kepada Allah karena merasa berasal dari asal yang lebih tinggi dan lebih hebat dibanding asal manusia. Tapi dasar iblis, walau Allah marah dan melaknatnya sampai hari kiamat dengan kesombongannya itu, ia tetap saja menantang dan berkata kepada Allah,“Tuhanku, oleh karena Engkau telah melaknat dan memutuskan aku sesat, beri aku tangguh waktu untuk hidup selamanya sampai hari kiamat. Aku akan jadikan setiap kejahatan dan kemungkaran terasa indah di hati manusia di muka bumi, dan dengan itu akan aku sesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas di antara mereka’’.
Allah pun berkata, “Baiklah kalau begitu. Kamu diberi tangguh, tetapi kamu tidak akan sanggup menyesatkan hamba-hamba yang sesungguhnya, yaitu mereka yang ikhlas itu.”
Sekelumit kisah dalam firman Allah di atas mengingatkan kepada kita bahwa semua manusia lemah di mata dan di hadapan iblis. Iblis dengan mudah memperdaya manusia karena ia melihat manusia, sementara manusia tidak melihatnya.
Semua akan menjadi “santapannya” untuk dijerumuskan ke jurang kesesatan karena memang ia memerlukan teman yang banyak di dalam neraka nanti. Namun, ayat itu juga memberitahu bahwa betapapun hebat dan bagusnya strategi yang digunakan oleh iblis, orang yang ikhlas atau mukhlis tidak akan sanggup ditundukkannya.
Ikhlas ternyata adalah kata kunci yang menjadi perisai paling ampuh, melindungi si mukhlis dari serangan iblis sehingga ia menjauh. Memang ada orang berpuasa dengan menyebut-nyebutnya kepada orang lain, atau menampakkan kelelahannya di mata orang, tetapi orang itu tidaklah puasa pada hakikatnya, karena riya.
Orang yang riya tidak ada puasa baginya. Orang yang puasa pada hakikatnya adalah orang yang tiada seorang pun tahu kalau ia berpuasa, selain Allah, tempat ia mempersembahkan ibadah puasanya itu. Itulah yang disebut ikhlas. Orang seperti itulah yang disebut mukhlis dan orang seperti itulah yang tidak akan mampu ditundukkan oleh iblis. Artinya, berpuasa berarti melatih diri menjadi mukhlis.
Maka, akan beruntunglah suatu negeri atau bangsa yang para pejabatnya adalah mukhlis. Negeri seperti itu akan menjadi negeri di mana iblis takut berbuat sewenang-wenang karena pejabatnya memang ditakuti oleh iblis. Iblis tidak akan mampu menciptakan rasa indah dan senang di hati para pejabat yang akan berbuat zalim atau mungkar.
Si mukhlis yang jadi pejabat akan tetap melihat kemungkuran sebagai kemungkaran yang harus dijauhi. Si mukhlis akan tetap melihat kezaliman sebagai kezaliman yang harus dihentikan. Si mukhlis akan tetap melihat semua kesewenang-wenangan sebagai perbuatan keji yang dibencinya karena dibenci oleh Tuhannya.
Iblis dibuat tidak berkutik oleh si mukhlis yang sedang memegang jabatan, sehingga negeri itu menjadi negeri yang selamat sentosa dari segala macam keburukan yang diinginkan oleh iblis.
Tapi, di mana letak pentingnya tulisan ini bagi bangsa yang bernama Indonesia hari ini? Di mana letak maknanya tulisan ini bagi negeri dan bangsa Indonesia yang kini sedang diliputi kekhawatiran yang sangat, mengingat semakin menjamurnya kezaliman, ketidakjujuran, perpecahan sosial dan lain sebagainya ini?
Jawabnya tentu karena negeri ini sudah amat sangat merindukan pemimpin mukhlis. Sejak dari sudut-sudut dusun sampai ke puncak gunung bergema rintihan “Bilakah datangnya pemimpin mukhlis agar iblis tidak bisa berbuat sesukanya?” Negeri ini sudah amat lelah dengan keangkuhan iblis karena banyak pejabat yang telah menjadi “kliennya’’, patuh dan manut kepadanya, lalu membangkang kepada Tuhan sebagaimana iblis membangkang perintah Tuhannya.
Maka, kedatangan Ramadan kali ini memberi harapan akan hadirnya pemimpin atau pejabat mukhlis. Negeri ini sudah terlalu lelah dipermainkan oleh iblis. Negeri ini sudah amat menderita dikuras tanpa henti tetapi tidak nampak manfaatnya kepada anak-anak negerinya sendiri. Tidak tahu, ke mana perginya kekayaan bumi dan lautnya yang begitu banyak dan kini tinggal jejak-jejak masa lalu.
Ke mana perginya jiwa kepahlawanan yang telah ditorehkan oleh para pendahulu, yang kini tinggal dalam cerita atau legenda. Akankah dibiarkan terus menerus iblis bersukaria “menyantap” manusia, termasuk penguasa, bagaikan kucing mempermainkan tikus sesukanya? Persoalannya adalah maukah para pejabat yang ada sekarang berpuasa dengan sepenuh ketulusan karena taat kepada perintah Tuhan sehingga ikhlas menancap di dalam hatinya dengan begitu kuat, lalu iblis menjauh dari mereka? Semoga mau.***