PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Masalah tunjangan penghasilan pegawai (TPP) bagi PNS guru sertifikasi di Kota Pekanbaru bukan semata karena TPP yang dihapus bagi guru penerima sertifikasi. Namun juga terdapat kesenjangan pendapatan antara guru nonsertifikasi penerima TPP dengan guru sertifikasi.
Polemik ini bermula dari pasal 9 ayat 8 Perwako Pekanbaru Nomor 7/2019 yang membuat para guru yang sudah menerima sertifikasi tak bisa mendapatkan TPP. Bukan hanya itu saja, para guru juga mempertanyakan TPP tiga bulan terakhir tahun 2018 yang tak kunjung cair. Akibat permasalahan ini, guru sempat menggelar dua kali demonstrasi besar-besaran, yakni pada Selasa (5/3) dan Senin (11/3). Hasilnya, disepakati waktu dua pekan untuk mencari solusi agar perwako tersebut bisa direvisi.
Salah seorang pengawas SD Kota Pekanbaru yang ikut dalam barisan guru yang melakukan demonstrasi ke kantor Wali Kota Pekanbaru mengeluhkkan ketidakadilan ini.
‘’Tidak terima TPP itu tidak masalah sebenarnya, tapi faktor keadilan tidak ada,’’ papar pengawas yang meminta namanya tak disebutkan ini pada Riau Pos, Rabu (13/3).
Dia menerangkan, sertifikasi pada dasarnya adalah penghargaan dari pemerintah pusat pada guru atas dedikasi dalam dunia pendidikan.Dirincikan, tahun 2006 sertifikasi diberikan pada guru yang berprestasi. Sementara tahun 2007 untuk guru yang memiliki jenjang pendidikan S1. Begitu seterusnya tiap tahun dengan kualifikasi yang berbeda pula. Guru harus mencukupi 24 jam mengajar selama sepekan untuk mendapatkan sertifikasi.
‘’Tunjangan sertifikasi itu dari pusat. Kan tidak ada sangkutpautnya dengan di daerah,’’ kata dia.
Ketidakadilan yang dirasa adalah, jika sertifikasi dibuatkan sesuai besaran gaji pokok guru, TPP bisa melebihi gaji pokok.
‘’Dapat sertifikasi tidak dapat TPP. Yang tidak sertifikasi mendapatkan TPP melebihi gaji pokok. Yang jadi permasalahan TPP melebihi gaji pokok,’’ ungkapnya.
Dia mencontohkan, di tingkat pengawas sertifikasi diterima bersih sekitar Rp3,8 juta. Namun pada penerima TPP ada yang disebut dengan penilik. Yakni semacam pengawas untuk pendidikan luar sekolah seperti paket B, paket C, kelompok belajar dan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).’’Penilik ini ada yang dibayar Rp7 juta lebih. Alasannya pengawas dapat sertifikasi, penilik tidak. Sekarang bagaimana situasi seperti ini ?’’ kata dia mempertanyakan.
Terpisah, Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Kota Pekanbaru Abdul Jamal saat dikonfirmasi Riau Pos terkait hal ini memberikan alasan bahwa penilik bukanlah jabatan fungsional.
‘’Itu berdasarkan golongan, sama dengan pegawai biasa. Dia tidak dapat sertifikasi, penilik itu sama dengan pegawai kantor,’’ jelasnya.
Di Dinas Pendidikan, jabatan fungsional saat ini, imbuh Jamal, tinggal tiga. Yakni guru, kepala sekolah dan pengawas. Terkait perbedaan besaran tunjangan dia menyebut Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang memiliki peranan.
‘’Itu (besaran tunjangan, red) di TAPD yang menentukan,’’ tutupnya.
Polemik TPP di Kota Pekanbaru hingga kini masih bergulir. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan tidak pernah melarang pemerintah daerah. Terutama Kota Pekanbaru memberikan TPP bagi guru yang sudah menerima sertifikasi. KPK tidak pernah memberikan rekomendasi secara tertulis kepada Pemko Pekanbaru agar tidak lagi memberikan TPP bagi guru yang sudah mendapat tunjangan sertifikasi.
Sebaliknya, yang ada sesuai dengan Rencana Aksi Program Pemberantasan Korupsi Terintegrasi yang sudah disampaikan ke KPK, agar setiap Pemda mengimplementasikan TPP sebagai salah satu bidang/program yang didorong KPK. “Implementasi TPP ini merupakan salah satu program dalam bidang manajemen ASN yang direkomendasikan/didorong KPK yang dalam proses perencanaan dan pelaksanaannya agar mengacu kepada ketentuan yang berlaku,” jelas Juru Bicara KPK Febri Diansyah.(ali)