HUKUM

Tegas, Mahfud MD: Dugaan Korupsi di Basarnas Harus Dituntaskan

Nasional | Senin, 31 Juli 2023 - 13:00 WIB

Tegas, Mahfud MD: Dugaan Korupsi di Basarnas Harus Dituntaskan
MAHFUD MD (JAWAPOS.COM)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Meski sempat muncul persoalan ihwal penetapan tersangka Kepala Basarnas Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi dan Letkol Adm Afri Budi Cahyanto, menurut Menko Polhukam Mahfud MD, proses hukum harus terus berjalan. Sebab, substansi masalahnya adalah dugaan tindak pidana korupsi.

Karena itu, kata Mahfud, kelanjutan proses hukum oleh KPK jangan berhenti. ”KPK sudah mengaku khilaf secara prosedural,” tuturnya.


Mahfud mengatakan, TNI juga sudah menerima substansi masalah yang terjadi. ”Yakni, sangkaan korupsi untuk ditindaklanjuti berdasar kompetensi peradilan militer,” ujarnya.

Dengan begitu, tidak ada lagi yang perlu diperdebatkan terkait prosedur penetapan tersangka berlatar belakang personel TNI aktif tersebut. ”Masalah korupsi yang substansinya sudah diinformasikan dan dikoordinasikan sebelumnya kepada TNI harus dilanjutkan dan dituntaskan melalui pengadilan militer,” paparnya.

Pejabat asal Madura itu menegaskan, perdebatan dan polemik yang belakangan muncul di ruang publik tidak boleh membuat substansi perkara menjadi kabur. Meski tidak sedikit kritik bernada pesimistis terhadap peradilan militer, Mahfud yakin personel TNI yang melanggar hukum bakal dihukum berat. ”Biasanya jika suatu kasus sudah bisa masuk ke pengadilan militer, sanksinya sangat tegas dengan konstruksi hukum yang jelas,” kata dia.

Sementara itu, dorongan agar KPK menuntaskan penanganan kasus dugaan korupsi di Basarnas juga disampaikan kelompok masyarakat sipil. Di antaranya, Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf. Dia bahkan mempertanyakan sikap KPK yang belum mengeluarkan sprindik terhadap dua prajurit TNI aktif yang diduga menerima suap proyek pengadaan di Basarnas. Padahal, secara ketentuan, KPK punya dasar untuk melakukannya.

Apalagi, diketahui bahwa prajurit TNI aktif itu mengemban tugas sebagai penyelenggara negara atau berdinas di lembaga negara yang mestinya juga harus tunduk pada aturan sipil. Bukan hanya tunduk terhadap aturan militer. ”Akan menjadi aneh jika KPK justru tidak menersangkakan Kabasarnas dan anak buahnya, padahal dalam perkara ini mereka berdua diduga sebagai penerima suap,” ujarnya.

Al Araf tidak sepakat dengan dalil yang menyebutkan bahwa penetapan prajurit TNI aktif sebagai tersangka hanya bisa dilakukan penyidik TNI. Menurut dia, dalil itu bisa dipatahkan karena kasus dugaan korupsi di Basarnas tidak berkaitan sama sekali dengan institusi TNI dan kepentingan militer.

Di luar perdebatan teknis tersebut, Al Araf berharap peristiwa OTT di lingkungan Basarnas dapat menjadi momentum untuk merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Tujuannya, UU tersebut tidak menjadi sarana impunitas dan alibi untuk tidak mengadili prajurit TNI di peradilan umum. ”Pemerintah juga wajib mengevaluasi keberadaan prajurit aktif di berbagai instansi sipil,” imbuhnya.

Senada, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M. Isnur menyampaikan bahwa Kabasarnas seharusnya bisa diproses hukum lewat mekanisme peradilan umum. ”Ketika ada penugasan di Basarnas, ketentuan jabatan administrasi TNI tidak berlaku lagi,” ungkap dia.

Karena itu, pihaknya bersama koalisi masyarakat sipil menyayangkan sikap KPK. Pimpinan KPK mestinya tidak perlu menyampaikan permohonan maaf. Apalagi sampai menyalahkan tim yang sudah bekerja. ”KPK seharusnya menggunakan UU KPK sebagai pijakan dan landasan hukum dalam memproses militer aktif yang terlibat dalam kejahatan korupsi tersebut,” terangnya. Dia menambahkan, KPK bisa mengabaikan mekanisme peradilan militer dengan dasar asas lex specialis derogat lex generalis.

Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook