Kemarin (17/3), Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno melakukan pertemuan dengan Dubes India. Membahas rencana program serta peluang peningkatan kerjasama pasca pandemi. Dia meyakini penguatan testing, tracing, dan treatment mampu menarik minat para wisatawan. Termasuk dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat dan disiplin.
“Kepercayaan wisatawan India untuk memulai penerbangan langsung melalui konsep travel corridor arrangement akan meningkat,” kata dia.
Selain itu, keduanya juga membahas soal rencana investasi dan perdagangan dalam lingkup pariwisata dan ekonomi kreatif. Juga tentang adaptasi teknologi guna memperkuat dan menciptakan peluang dalam sektor parekraf. Khususnya dalam penguatan desa wisata yang menjadi salah satu program andalan pemerintah.
“Peningkatan hubungan bilateral ini bisa membangkitkan semangat, menebar harapan, dan membuka peluang bagi Bali untuk bangkit. Dan, ekonomi Indonesia akan segera pulih,” tutur Sandiaga.
Pada 20-21 April mendatang, sekitar 4 ribu pelaku usaha pariwisata dan ekonomi di Kepulauan Riau juga akan divaksin. Jumlah tersebut termasuk anggota keluarga mereka dan masyarakat setempat. Staf Ahli Manajemen Kemenparekraf Hengky Manurung mengklaim bahwa Kepri sudah memiliki metode tracing yang akurat untuk menarik minat wisatawan. Yakni, menggunakan Blue Pass. Alat dari Singapura itu bisa mendeteksi Covid-19 hanya dalam waktu 15 menit dan dengan jarak kurang dari dua meter.
“Karena masyarakat dan wisatawan mancanegara pastinya juga ingin menikmati destinasi-destinasi wisata di Kepri seperti dulu,” ujarnya.
Pada bagian lain, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) meminta pemerintah pusat dan daerah tidak menjadikan program vaksinasi Covid-19 pada guru sebagai dasar untuk membuka sekolah. Penerapan protokol kesehatan di sekolah tetap harus jadi syarat utama. Terlebih, dari survey, ada guru yang menolak untuk divaksin. Survei singkat tentang Persepsi Guru Atas Program Vaksinasi ini diikuti oleh 2406 guru semua jenjang pendidikan dari 23 provinsi di Indonesia. Hasil survei menunjukkan, 8,17 persen guru menolak divaksin. Sementara sisanya, bersedia.
Sekjen FSGI Heru Purnomo mengatakan, angka ini tentunya tidak bisa dipandang remeh. Mengingat target dari pelaksanaan vaksinasi Covid 19 bagi guru ialah terlaksananya pembelajaran tatap muka di awal semester depan. ”Tapi apabila masih ada guru yang belum divaksin plus siswa yang juga belum divaksin, maka Herd Immunity secara komunal di lingkungan sekolah sulit untuk terbentuk,” ujarnya.
Ada sejumlah alasan yang mendasari keengganan para guru ini. Mulai dari khawatir dengan efek samping dari vaksinasi Covid 19 sebanyak 63,32 persen hingg ragu dengan kualitas produk vaksin sebanyak 41,71 persen. Kemudian, ada pula yang beralasan memiliki penyakit bawaan (comorbid), terpengaru pemberitaan negatif tentang vaksinasi di media sosial, masih adanya kemungkinan terpapar Covid-19 meski telah divaksin, hingga tidak takut terinfeksi virus Covid-19.
Jika ditelusuri lebih lanjut, kebanyakan guru-guru yang menolak berasal dari luar Jawa. Kondisi ini diduga paralel dengan situasi penyebaran Covid-19 yang lebih buruk di Pulau Jawa dibandingkan daerah lainnya. ”Juga paralel dengan penanganan dan pencegahan penyebaran Covid 19 yang ternyata lebih baik di Pulau Jawa dibandingkan daerah lainnya di luar Pulau Jawa,” ungkapnya.
Sementara, berdasarkan jenjang sekolah ternyata ketidaksediaan mengikuti vaksinasi dominan berasal dari guru pada jenjang sekolah SMA/ SMK/ MA. Yakni sebanyak 32,64 persen. Disusul, SMP/ MTs sebanyak 8,48 persen, 5,96 persen pada jenjang SD/MI, dan sebanyak 5,6 persen pada jenjang PAUD/TK.
”Patut diduga bahwa ketidaksediaan sebagian guru pada jenjang SMA, SMK, MA ini memang karena diakibatkan belum tersosialisasi dengan baik pelaksanaan vaksinasi Covid-19,” katanya. Sebagaimana diketahui bahwa pelaksanaan vaksinasi Covid 19 untuk tahap awal diprioritaskan bagi jenjang sekolah yang lebih rendah.
Melihat fakta ini, FSGI mendorong Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbu), Dinas-dinas Pendidikan, dan Dinas Kesehatan di daerah untuk melakukan sosialisasi lebih massif. Khususnya, untuk guru Jenjang SMA/SMK dan yang berusia dibawah 50 tahun agar mendukung program vaksinasi Covid-19.
”Materi sosialisasi ditekankan pada kualitas vaksin dan efek sampingnya. Lalu, jaminan keberhasilan vaksin. Karena guru-guru yang menolak vaksin meragukan kualitas dan mafaat vaksin bagi dirinya,” ungkapnya.
FSGI juga mendorong pemerintah pusat dan daerah tidak menjadikan program vaksinasi sebagai dasar untuk membuka sekolah. Pemerintah harus memastikan terlebih dahulu prokes di sekolah dan adanya jaminan bahwa ada SOP protokol kesehatan di sekolah.
Adanya virus Covid-19 varian baru B.1.1.7 menjadi perhatian pemerintah. Pada kesempatan lain, Budi menyatakan bahwa selama setahun pandemi, Indonesia hanya mampu melaksanakam 172 genome sequencing. Genome sequencing adalah tata cara menentukan urutan DNA lengkap dari suatu kelompok organisme. Dalam hal ini yang dimaksud Budi adalah SARS-CoV 2.
Jumlah genom squancing yang dicapai Indonesia jauh lebih kecil di banding kemampuan negara lain. Budi menyebutkan ada beberapa negara yang sudah mampu mengidentifikasi hingga 10 ribu kasus perbulan. Sayangnya Budi tak menyebut negara mana yang dimaksudnya.
“Kalau ada varian baru akan sulit terdeteksi,” kata Budi menjelaskan dampak minimnya genom squancing. Menyadari hal itu, pemerintah akhirnya melalukan langkah yang dianggap mampu mengantisipasi. Sejak Januari lalu, Kemenkes sudah menggalakan genom squencing. Budi menjelaskan hal ini merupakan salah satu jawaban untuk mendeteksi adanya varian Covid-19 baru di Indonesia.
Apa yang dilakukan Kemenkes untuk meningkatkan genom squancing? Budi mengatakan pihaknya telah membentuk jaringan laboratorium. Kemenkes juga menggandeng Kemenristek/BRIN. “Setelah meningkat maka kita bisa menemukam varian baru,” katanya.
Kolaborasi dua kememterian ini sudah menunjukkan hasil. Pemerintah menemukan B.1.1.7 yang merupakan virus dari Inggris. Virus ini ditemuman pada dua orang yang datang dari Arab Saudi. Lalu setelahnya juga ditemukan empat kasus. Dua di antaranya berasal dari transmisi lokal atau penularan di Indonesia.
Melihat peluang ini, pemerintah semakin memperkuat jaringan laboratorium. Dia menyatakan bahwa kedepan diharapkan akan ada hasil yang lebih sigap. Lalu bagaimana dengan langkah tracing, testing, dan treatment (3T)? Budi mengatakan tiga hal itu juga menjadi perhatian. Ini terkait menemukan kasus baru dan penanganannya.
Budi mengungkapkan, tracer di Indonesia kurang. WHO mensyaratkan 30 orang tracer untuk 100 ribu penduduk. Dengan jumlah penduduk Indonesia saat ini, Budi menghitung dibutuhkan 80 ribu tracer. Tentu ini tidak bisa dikerjakan oleh sektor kesehatan saja.
Pasien Covid-19 Dirawat Masih di Atas 1.000
Kepala Dinas Kesehatan Riau Mimi Yuliani Nazir menginformasikan adanya penambahan 82 pasien positif Covid-19 di Riau per Rabu (17/4). Total pasien positif Covid-19 di Riau mencapai 32.990 orang. Dari jumlah tersebut, 31.083 di antaranya sudah sembuh, 805 meninggalkan dunia.
“Total pasien positif Covid-19 yang masih menjalani perawatan di Riau masih di atas seribu, yakni 1.102 orang. Dengan rincian, 762 menjalani isolasi mandiri dan 340 dirawat di rumah sakit,” ujar Mimi.