JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Kontroversi yang berulang kali “dipertontonkan” Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri memantik reaksi keras publik. Perwira tinggi polisi aktif itu diminta untuk segera mengundurkan diri dari jabatannya agar lembaga antirasuah bisa kembali mendapat kepercayaan masyarakat.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan banyak argumentasi logis yang bisa menjadi pertimbangan Firli mundur dari jabatan ketua KPK. Yang terbaru, penggunaan helikopter mewah untuk pulang kampung ke Baturaja, Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan (Sumsel) yang diduga melanggar kode etik KPK.
”Semestinya yang bersangkutan (Firli Bahuri) dapat mengundurkan diri sebagai ketua KPK,” tegas Kurnia saat dihubungi, Sabtu (27/6). Penggunaan moda transportasi udara kelas elite itu menimbulkan sorotan negatif terhadap Firli. Dan membuat degradasi kepercayaan publik terhadap KPK semakin mengkhawatirkan.
Kurnia menjelaskan, penggunaan helikopter yang membuat Firli terlihat memiliki gaya hidup hedonis itu menambah daftar panjang dugaan pelanggaran etik yang menerpa perwira polisi berpangkat komisaris jenderal (komjen) itu. Saat menjabat Deputi Penindakan, misalnya, Firli diduga bertemu dengan pihak yang sedang berperkara di KPK. Pertemuan pada Mei 2018 itu telah diakui Firli.
”Dari jejak rekamnya saja, yang bersangkutan sudah bermasalah,” paparnya. Kurnia menyebut tidak ada pilihan lain bagi Dewan Pengawas (Dewas) KPK untuk memanggil dan memeriksa Firli atas berbagai dugaan pelanggaran etik yang dilakukan. ”Perbuatan yang bersangkutan sejak dilantik pada Desember lalu sudah seringkali bersinggungan dengan pelanggaran kode etik,” ujar dia.
Dewas, kata Kurnia, tidak bisa tinggal diam atas dugaan pelanggaran etik naik helikopter tersebut. Sebab, perbuatan itu jelas bertentangan dengan Peraturan Dewas (Perdewas) KPK Nomor 1/2020 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK. Tepatnya di poin integritas nomor 27 yang melarang insan KPK untuk tidak menunjukkan gaya hidup hedonisme.
Tidak hanya Dewas, Kurnia juga mendesak bidang penindakan KPK untuk mengusut penggunaan helikopter itu. Hal tersebut penting dilakukan untuk menemukan apakah penggunaan helikopter itu difasilitasi pihak tertentu atau menggunakan kocek pribadi Firli. Jika terbukti difasilitasi pihak tertentu, Firli bisa diproses hukum.
”Bisa dengan pasal 12 B UU Tipikor atas tindak pidana gratifikasi, ancaman pidananya seumur hidup penjara,” ungkap pria berkacamata itu. Kurnia menambahkan, pihaknya berharap pemeriksaan yang di Dewas KPK bisa dilakukan secara terbuka. Dewas juga harus memberikan tenggat waktu dalam proses pemeriksaan tersebut agar tidak menguap dan hilang begitu saja.
Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman yang melaporkan penggunaan helikopter tersebut menambahkan penanganan kode etik harus dilakukan secara serius. Sebab, gaya hidup hedonis semacam itu bisa saja terulang kembali. ”Nanti lama-lama pakai jet pribadi, dan yang bisa memberi fasilitas itu bisa saja pengusaha yang punya kepentingan dengan KPK,” ujarnya.
Menurut Boyamin, KPK membutuhkan sosok pemimpin yang memiliki integritas dan moral yang tinggi agar bisa memberantas korupsi dengan gagah berani. Kriteria semacam itu, kata Boyamin, akan sulit didapatkan dari sosok pemimpin yang memiliki gaya hidup hedonis. ”Yang jelas, gaya hedon bukan karakter KPK,” paparnya.
Sementara itu, Firli Bahuri masih belum mau berkomentar terkait kritik dan sorotan negatif terhadap dirinya. Dihubungi melalui pesan singkat, mantan Kapolda Sumatera Selatan (Sumsel) itu belum memberikan respon. Sementara itu, Dewas KPK juga belum mau memaparkan perkembangan penanganan dugaan pelanggaran etik Firli. Kelima Dewas tidak satu pun mau memberikan komentar.(tyo/jpg)