AUDIT TWK KPK YANG BERMASALAH DAN KONTROVERSIAL

Dorong Bentuk Tim Independen

Nasional | Kamis, 27 Mei 2021 - 09:34 WIB

Dorong Bentuk Tim Independen
(JPG)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Gelombang kritik bermunculan pascapengumuman Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dengan 75 pegawai lembaga antirasuah yang dinyatakan tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK). Banyak pihak menilai keputusan itu jauh dari rasa keadilan. Sebab, 51 pegawai KPK yang harus berhenti bekerja mulai November tahun ini, telah mengabdikan diri di KPK sejak lama.

Tidak hanya itu, mereka juga sudah menunjukkan kinerja yang baik dengan mengungkap kasus-kasus korupsi di Tanah Air. Termasuk di antaranya kasus kakap yang melibatkan pejabat tinggi. Sayangnya, semua itu seolah tidak berarti apapun setelah mereka mengikuti TWK, tes yang dinilai sangat bermasalah dan kontroversial. Di samping prosesnya, hasil tes itu juga tidak disampaikan secara terbuka oleh KPK. 


"Kami tidak saling tahu yang 75 itu siapa," ungkap Sujanarko, kemarin (26/5).

Sujanarko merupakan salah seorang pegawai KPK yang dinilai tidak lulus TWK. Terakhir, dia bertugas sebagai Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK. Sebelum bermunculan di media, lanjut dia, pegawai KPK tidak tahu siapa-siapa saja yang tidak lulus TWK. Perlu waktu berhari-hari sampai mereka bisa berkumpul di satu grup. 

"Karena memang gelap gulita," ujar dia. TWK yang bermasalah itu, menurut Sujanarko seperti operasi intelijen.

Pria yang akrab dipanggil Koko itu menyatakan, hal serupa bisa jadi kembali dilakukan pasca BKN dan pimpinan KPK mengumumkan nasib 75 pegawai tersebut. Yakni dengan menetapkan 51 pegawai KPK tidak bisa diselamatkan dan harus berhenti bekerja, serta 24 pegawai yang akan dididik dan dibina lebih dulu. Sampai kemarin, dia menyebut, tidak satu pun dari 75 pegawai KPK mengetahui siapa yang masuk 51 orang dan siapa yang ada dalam data 24 orang tersebut.

Alhasil, mereka juga belum tahu persis nasib masing-masing di samping informasi yang diterima dari media dan keterangan BKN serta pimpinan KPK. "Nggak ada informasi apapun, surat nggak ada, pertemuan nggak ada, pemberitahuan email nggak ada," imbuh Koko. 

Padahal, dia menilai bahwa keputusan yang sudah diambil itu harusnya dibeber tanpa ditutup-tutupi. Menurut dia, persoalan yang terjadi saat ini bukan sekadar 75 orang dinyatakan tidak lulus TWK dan 51 harus berhenti bekerja. Masalah yang terjadi lebih besar dari itu. Namun demikian, bila mereka tidak bersedia terbuka, Sujanarko menyebut harus ada dorongan dari luar. Khususnya dari Presiden Joko Widodo. Sebab, Presiden sudah memberikan arahan yang jelas dan tegas terkait polemik TWK. Di luar itu, Presiden juga merupakan orang yang memiliki kewenangan paling besar terkait pengelolaan sumber daya manusia (SDM) di instansi-instansi di rumpun eksekutif. Termasuk di antaranya KPK. 

"Kalau (pimpinan KPK) yang didelegasikan (mengelola SDM KPK) sudah tidak profesional, sudah ngawur seperti ini, harusnya Presiden bisa mengambil alih kewenangan pengelolaan pegawai itu," jelasnya.

Apalagi, sambung Koko, keputusan BKN dan pimpinan KPK berlawanan dengan arahan yang disampaikan Presiden. "Ini Presiden kan sudah benar-benar dilecehkan, diabaikan begitu," ujarnya. 

Untuk itu, Presiden harus mengambil langkah. Dia menilai sangat berbahaya apabila arahan Presiden tidak dituruti. Presiden, lanjut dia, bisa menyikapi itu dengan membikin tim independen. "Untuk bisa melakukan eksternal audit terhadap proses (TWK) itu," tambah dia.

Menurut Koko, audit atau evaluasi harus dilakukan karena TWK sudah bermasalah sejak awal. Dugaan maladministrasi terjadi di banyak soal, kemudian ada juga dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan dugaan pelanggaran etik. Seluruh dugaan pelanggaran itu juga sudah dilaporkan kepada Dewan Pengawas (Dewas) KPK, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan Ombudsman Republik Indonesia (ORI). 

"Urusannya menjadi jauh lebih besar dibanding 75 orang gitu," bebernya.

Dengan tim independen yang dibentuk langsung oleh Presiden, semua ikhtiar yang dilakukan oleh 75 pegawai KPK melawan TWK yang kontroversial dan sarat masalah itu, Koko optimistis hasil audit bisa menunjukkan lebih jelas masalah tersebut. Selain itu, kekuatannya tim independen tersebut juga menjadi lebih besar karena dibentuk langsung Presiden. 

"Akan lebih legitimate dan lebih kuat," ujarnya. "Presiden akan bisa lebih detail dan bisa memutuskan lebih jernih," sambung dia.

Senada, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) sebagai penasihat hukum 75 pegawai KPK menyatakan bahwa perlu langkah tegas dari Presiden menyikapi persoalan yang terjadi saat ini. Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur menyebutkan bahwa pihaknya bersama Koalisi Masyarakat Antikorupsi mendorong Presiden menarik delegasi  wewenang yang diserahkan kepada pimpinan KPK untuk mengurus peralihan status pegawai KPK.  "Karena telah nyata adanya pelanggaran," tegasnya.

TWK di KPK, tegas Isnur, jelas bermasalah. Bukannya membawa perubahan baik untuk KPK, sebaliknya proses itu malah bisa menjadi jalan untuk merusak lembaga independen tersebut. "Alih-alih memastikan alih fungsi pegawai KPK menjadi individu berintegritas dalam menjalankan perannya, malah menjadi legalisasi kezaliman bagi sekelompok individu," beber Isnur. 

Mereka bahkan dicap dan dilabeli ‘merah’ tanpa penjelasan dan pembuktian yang pasti dan tegas mengenai pelabelan tersebut. Lebih dari itu, dia menilai ada kekuatan besar yang membuat BKN dan pimpinan KPK berani mengabaikan arahan Presiden. 

"Perintah Presiden diabaikan, kuat kemungkinan ada perintah yang lebih kuat dari Presiden, atau ada kekuasaan lebih besar," imbuhnya. 

Hal serupa disampaikan oleh peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana. Pihaknya melihat ada pola serta kerja sama yang terbentuk dalam rangkaian TWK. "Ada persekongkolan jahat di balik TWK itu," kata dia.

Salah satu indikasinya tampak beberapa saat setelah hasil TWK yang menyatakan 75 pegawai KPK tidak lulus mencuat ke publik. Pendengung atau buzzer di media sosial langsung bergerak untuk memojokkan KPK. "Ada dugaan pengerahan pendengung atau buzzer di media sosial," bebernya. 

Selain itu, diskusi-diskusi yang dilaksanakan oleh aktivis antikorupsi juga dihalang-halangi lewat upaya peretasan acara diskusi serta upaya peretasan akun WhatsApp mereka. 

Kritik terhadap keputusan BKN dan pimpinan KPK juga disampaikan oleh Partai Demokrat. Mereka mempertanyakan keputusan pimpinan KPK memberhentikan 51 pegawai dan seolah mengabaikan pesan Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu. Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Jansen Sitindaon menyayangkan pemecatan itu. Padahal sebelumnya, pihaknya mengapresiasi sikap pemerintah yang disampaikan oleh Presiden. 

"Baru kemarin mengapresiasi sikap dan arahan Presiden Jokowi soal polemik TWK KPK yang juga sejalan dengan putusan MK. Namun, putusan dari BKN dan lain-lain malah berbeda," ungkapnya.

Yang lebih disayangkan lagi, menurutnya, adalah bahwa 51 pegawai ini merupakan SDM yang berpengalaman dan berintegritas. Dengan pemecatan hingga 51 orang penyidik tersebut, maka KPK akan semakin sulit menjalankan tugas dan fungsinya karena harus merekrut pegawai dari awal. 

"Melahirkan penyidik andal dan berintegritas itu tidak mudah, jangan malah disia-siakan," tegas Jansen. 

Dia berharap ada penyelesaian yang lebih baik untuk nasib 51 pegawai tersebut. Sementara itu, Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko menyatakan tak ada upaya pelemahan KPK. Menurutnya arahan Presiden Joko Widodo untuk mengalih tugaskan pegawai KPK menjadi ASN menegaskan komitmen pemerintah untuk menjaga KPK agar bekerja maksimal. 

"Dari awal Presiden ingin KPK memiliki SDM yang baik dan memiliki komitmen yang tinggi dalam memberantas korupsi," ucapnya.

Karena itu, pengalihan pegawai KPK menjadi ASN membuat pemberantasan korupsi harus lebih sistematis. Ia juga menambahkan, proses alih status pegawai KPK ini memiliki payung hukum. Yakni amanat UU 19/2019. Selain itu juga PP 21/2020 tentang pengalihan pegawai KPK menjadi ASN. Ada juga peraturan KPK No 1/2021 tentang tata cara pengalihan pegawai KPK menjadi ASN. 

"Dalam menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi No 70/2019 Presiden mengingatkan alih status kepegawaian harus memegang prinsip tidak merugikan hak pegawai KPK," ucapnya. 

Moeldoko menuturkan bahwa Presiden juga menyerahkan pada mekanisme yang berlaku. Yakni Ketua KPK, Menteri PAN-RB, dan Kepala BKN bisa merumuskan kebijakan yang baik. 

"Langkah ini perlu untuk mendapatkan garda depan pemberantas korupsi yang berintegritas dan berjiwa merah putih," imbuhnya.

Untuk itu, dia minta seluruh pihak memahami maksud pemerintah tersebut sehingga isu tidak berkembang. Terkait adanya mereka yang gagal karena tidak lolos TWK, Moeldoko meminta melihat tes ini merupakan wawasan kebangsaan pegawai pemerintahan.

"Selama ini (TWK) sudah berjalan. Tidak hanya KPK saja," katanya. Soal tidak lulus TWK tidak hanya terjadi di KPK saja. 

"Kenapa yang di KPK diributkan," imbuhnya.

Mekanisme TWK menurut Moeldoko harus disusun dengan baik. "KSP merekomendasikan melibatkan NU dan Muhammadiyah," tuturnya. 

Alasannya, organisasi keagamaan itu telah teruji mampu merajut simpul kebangsaan. Kepada mereka yang dinilai wawasan kebangsaannya masih kurang, maka sebaiknya dilakukan pendidikan kedinasan. Hal itu juga sejalan dengan arahan Presiden Jokowi.  "Persoalan wawasan kebangsaan ini bisa naik turun. Penguatan harus dilakukan," imbuhnya.(deb/lyn/syn/jpg)
 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook