JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Protes keras yang dilontarkan Bupati Meranti Muhammad Adil terkait dana bagi hasil (DBH) dinilai hanya puncak dari gunung es. Di daerah, kegeraman serupa diyakini dialami kepala daerah lainnya. Menurut pakar otonomi yang juga mantan Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Soni Sumarsono, kurang transparannya pengelolaan DBH merupakan persoalan lama. Sejak dulu, pengelolaan didominasi pusat. Alhasil, daerah kerap tidak mendapat informasi yang cukup. ”Data ini terkesan close. Daerah sulit menghitung,” ujarnya dalam diskusi di Jakarta kemarin (24/12).
Itu terlihat dari kasus bupati Meranti yang emosional karena upaya memperoleh informasi belum direspons cepat. Setelah viral, respons tersebut baru didapatkan. Bukan tidak mungkin, daerah lain juga memendam rasa yang sama. ”Kalau daerah diam tidak berarti menerima. Kadang karena dia merasa harus tegak lurus saja,” imbuhnya.
Atas dasar itu, mantan penjabat gubernur DKI Jakarta tersebut menyarankan agar pengelolaan DBH lebih transparan. Selain itu, harus ada bimbingan pengawasan hingga sarana konsultasi yang memadai. Dengan begitu, sumbatan komunikasi bisa teratasi.
Jika tidak, dia khawatir persoalan itu akan menjadi bom waktu. Sewaktu-waktu bisa memantik kemarahan daerah. ”Financial sharing yang kurang transparan akan merusak hubungan pemerintah daerah dan pusat,” tegasnya.
Sementara itu, pengamat politik Badan Riset dan Inovasi Negara (BRIN) Siti Zuhro menuturkan, secara umum semangat otonomi daerah mengalami kemunduran. Hal itu ditandai dengan semakin minimnya kewenangan daerah.
Dalam Undang-Undang Cipta Kerja dan UU Minerba yang baru, misalnya, banyak dari kewenangan perizinan dan pengawasan atas tambang yang ditarik ke pusat. ”Ini menimbulkan risiko hilangnya pendapatan daerah,” kata perempuan yang akrab disapa Wiwik itu.
Menguatnya kewenangan pusat juga terlihat dari dihidupkannya lagi kewenangan menindak peraturan daerah yang sudah dibatalkan MK. Di sisi lain, pemda yang tidak mengikuti instruksi berisiko terkena penalti anggaran.
Berbagai kebijakan tersebut, lanjut Wiwik, membuat pemda kian terjepit. Karena itu, dia menilai letupan-letupan protes dari daerah berpotensi berulang. ”Pemangkasan kewenangan pemda akan menimbulkan resistansi,” jelasnya.
Sementara itu, Dirjen Keuangan Daerah Kemendagri Agus Fatoni mengatakan, pemerintah pusat membuka ruang bagi daerah yang ingin menyampaikan unek-unek. Sebagaimana dalam kasus Meranti, Kemendagri akan memfasilitasi. ’’Yang penting bisa disampaikan baik-baik,” ujarnya.
Kabupaten Meranti memang merupakan salah satu daerah penghasil minyak di Indonesia. Namun, angka kemiskinannya masih tinggi. Berdasarkan data yang dibeberkan oleh Plt Kepala Dinas Sosial Kardafi, kepada Riau Pos, totalnya tidak kurang dari 101.978 dari 206.116 ribu jiwa penduduk miskin tersebar di Kepulauan Meranti.
Data tersebut ia lansir berdasarkan data pemerintah pusat melalui Kementerian Sosial, seperti data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS). Seluruh jiwa yang termasuk dalam data ini keluarga penerima manfaat program pemerintah.
Dari jumlah tersebut, 50.079 jiwa di antaranya termasuk miskin ekstrem. Seperti yang dilansir dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) 2022. Jumlah itu juga mencakup 20.430 keluarga yang tersebar di daerah setempat.
Tingkat kemiskinan esktrem tertinggi berada di pusat kabupaten atau Kecamatan Tebingtinggi, sebanyak 4.944 keluarga. Setelah itu Kecamatan Rangsang Pesisir 2.496 keluarga, Kecamatan Pulau Merbau sebanyak 2.069 keluarga. Menyusul kecamatan lainnya. Kisruh dana transfer ke daerah yang bersumber dari dana bagi hasil (DBH) minyak dan gas bumi (migas) diketahui akibat perbedaan data penghitungan lifting dan produksi minyak.
Hal ini terungkap dalam rapat antara Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, Pemerintah Provinsi Riau dan Kabupaten Kepulauan Meranti yang difasilitasi Kementerian Dalam Negeri di Jakarta, Rabu (21/12).
Gubernur Riau Syamsuar pun menyarankan rekonsiliasi penghitungan lifting daerah penghasil diaktifkan kembali. Gubri menyebutkan, dulu ada rekonsiliasi data ke daerah secara rutin membahas lifting tersebut tiga bulan sekali, bahkan dulu DBH juga begitu.
Menurut Syamsuar, untuk menghindari perbedaan data antara pusat dengan daerah penghasil, menurutnya rekonsiliasi ini bisa dilaksanakan lagi. Dengan tujuan agar adanya kesepahaman antara pusat dan daerah penghasil berkaitan dengan DBH tersebut.
“Jadi kita bisa bandingkan data dari provinsi, kabupaten, dan bersama Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan serta Kemendagri,” katanya.
Gubri menjelaskan, seperti data yang ada saat ini, ada pengurangan lifting DBH Migas antara tahun 2021 dibandingkan dengan 2022. Pada tahun 2021 lifting-nya sebesar 66 juta yang sudah dihitung DBH Migas untuk se-Riau. Tahun 2022 justru turun menjadi 49 juta.
“Ini yang ingin kami tanyakan apakah prognosa ini sampai perhitungan Juni atau September atau sampai Desember perkiraan prognosa itu atau apa,” ujar Gubri mempertanyakan. Sebab menurut Gubri, ia melihat di perpres saja dalam rangka penetapan rill prognosa itu pada bulan Juni.
“Jadi artinya, kalau bulan Juni barangkali kemungkinan ada lagi yang akan dibayar dari Kemenkeu karena perhitungan 2023 ini menurut kami jauh sekali kurangnya. Artinya prognosa dari lifting ini sangat mempengaruhi,” sebutnya.
Begitu juga untuk Kabupaten Kepulauan Meranti, tahun 2021 saja 1,5 juta, turun menjadi 1,1 juta padahal ada pengeboran sumur minyak baru yang seharusnya angkanya naik dari 1,5 juta tersebut. “Itu makanya tadi (kemarin, red) Bupati (Meranti) memperjuangkan ini karena ada perbedaan yang sangat mendasar antara 2021 dan 2022,” tambahnya.
Berkat rekonsiliasi prognosa lifting minyak bumi Kabupaten Kepulauan Meranti meningkat. Hasil pertemuan menghasilkan penyamaan persepsi soal data dan hasil dan prognosa lifting 2023. Bahkan Kabupaten Kepulauan Meranti akan menerima sisa bayar DBH Migas semester kedua 2022 dengan perhitungan 100 dolar AS per barel. Karena penerimaan semester pertama 2022 yang disalurkan Kemenkeu hanya 60 dolar AS per barel.
“Semua sudah clear. Dan in sya Allah, uang kami yang di 2022 yang kurang bayar karena yang 60 dolar AS jadi 100 dolar AS nanti akan dibayar,” ujar Bupati Meranti Muhammad Adil.
Dirjen Dana Transfer Umum Kementerian Keuangan Adriyanto, juga membenarkan. Namun ia mengaku masih akan menunggu proses audit laporan keuangan Kepulauan Meranti sebelum melakukan sisa pembayaran. “Tunggu diaudit dulu laporan keuangannya, tunggu dihitung lagi, nanti kata Pak Dirjen (Agus Fathoni) kalau ternyata lebih besar ada kenaikan. Ya kan ada selisih, kalau kurang bayar ya dibayarkan kembali,” kata Adriyanto di Kementerian Dalam Negeri, Jakarta Pusat.
Adriyanto mengaku akan menggunakan hitungan 100 dolar AS per barel sejak Peraturan Presiden No 98 tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No 104 tahun 2021 tentang Rincian APBN 2022 dikeluarkan. Dalam ptersebut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggunakan hitungan DBH yang dibagikan menjadi 00 dolar AS per barel, naik dari 60 dolar AS per barel sebelumnya. “(Hitungannya) pakai yang 100 dolar AS, bulan terakhir kan harga sudah mulai naik, (berlaku) sejak Perpres 98 hitungannya 100 dolar AS,” tegas Adriyanto.
Lebih jauh, Agus Fathoni menjelaskan bahwa realisasi DBH memiliki kemungkinan tidak sama persis dengan perhitungan perkiraan. Hal ini bergantung pada jumlah produksi dan lifting masing-masing daerah. “Misal saya diperkirakan untuk 2023 DBH Meranti perkiraannya Rp100 miliar. Tapi DBH ini tergantung produksi dan lifting. Jadi bisa saja nggak Rp100 miliar, bisa jadi lebih dari Rp100 miliar,” paparnya.
“Kalau lifting setelah dihitung ternyata melampaui dari perkiraan Rp100 miliar tadi, itu akan ditambahkan, namanya kurang bayar. Kalau ternyata yang dibayarkan itu lebih rendah dari yang diprediksikan, itu namanya lebih bayar. Nanti akan ditarik lagi, diperhitungkan tahun depannya,” sambung Fatoni.
Sekretaris Daerah Kabupaten Kepulauan Meranti, Bambang Suprianto mengambarkan pembahasan yang dikemukakan dalam rekonsiliasi yang lebih kepada prognosa 2023. Pasalnya sedikit terjadi perbedaan terhadap target yang diusulkan oleh KKKS pada rencana kerja mereka tahun depan. Menurutnya KKKS mampu memenuhi lifting lebih dari 8,700 barel per-hari, atau setara 3.270.000 barel per tahun.
Dengan segala pertimbangan usulan target yang dikemukakan, Kemen-ESDM, SKK-Migas, dan pihaknya telah menyepakati prognosa lifting Kepulauan Meranti sementara 8.000 barel per hari atau setara 2.976.412 barel per tahun. “Namun yang perlu dipahami. Jika memang target SKK tercapai maka progonsa-nya kembali disesuaikan. Itu kesepakatannya,” ungkap Bambang.
Sementara DBH minyak bumi yang akan diterima kabupaten termuda Provinsi Riau tersebut mulai menggunakan asumsi harga minyak lebih dari 90 dolar AS perbarel sejak hasil produksi sisa Desember 2022. “Artinya ada produksi akhir 2022 yang akan disalurkan awal 2023 telah menggunakan harga itu. Lebih 90 dolar AS dengan nilai kurs tetap Rp14.800,” bebernya.
Sementara realisasi lifting minyak bumi daerah mereka sepanjang 2021 sekira 1.742.145 barel dengan kisaran lifting 4.773 barel per hari. Sedangkan per September 2022 naik menjadi 1.618.960 barel dengan kisaran 4.830 barel per hari.
Ia juga tidak menyangkal masih terdapat sisa bayar DBH minyak Kepulauan Meranti 2021 yang belum disalurkan oleh Kemenkeu. Namun ini sudah dipastikan dalam rapat tersebut akan dibayarkan dalam waktu dekat. “Sisa yang belum tersalur tahun lalu juga ada, itu mau dibayarkan tapi masih tetap dengan harga lama yakni 60 dolar AS,” ujarnya.
Diberitakan sebelumnya, pertemuan ini imbas dari kekecewaan Adil yang sulit mendapatkan kesempatan kejelasan perhitungan utuh DBH Migas yang mereka terima dari Kemenkeu. Bahkan Ia sempat geram dan emosi hingga mengeluarkan kata kasar kepada jajaran pengelola keungan negara tersebut.
Karena seharusnya kata Adil ketika itu, Meranti layak mendapat DBH dengan hitungan 100 dolar AS per barel. Namun DBH yang diterima tahun ini hanya Rp114 miliar dengan hitungan 60 dolar AS per barel. Ia mendesak Kemenkeu agar DBH yang diterima menggunakan hitungan100 dolar AS per barel pada 2023.
Seperti data yang dirangkum Riau Pos, lifting minyak Kabupaten Meranti juga menurun pada 2022 dari 2.489,71 ribu menjadi 1.970,17 ribu barel. Sehingga total penerimaan 2022 sebesar Rp115.08 miliar, dan terjadi sedikit kenaikan pada 2023 dengan asumsi penerimaan sebesar Rp207,67 miliar. Namun Adil berasumsi berbeda, yakni tidak kurang dari Rp300 miliar. Memang data lifting migas di sana cenderung menunjukan adanya trend turun naik dalam beberapa tahun terakhir. Seperti 2016 hingga 2020, total lifting minyak di sana tercatat 4.460.297,05 barel dari total lifting rata-rata 892.059,41 barel per tahun.
Sementara total lifting gas 2016 hingga 2020 sebesar 3.349.358,81 MMBTU dengan rata- rata lifting 669.871,76 per tahun. Namun total realisasi salur DBH Migas 2016-2020 sebesar Rp643.30 miliar.(far/fal/jpg/muh)
Laporan JPG, Jakarta