(RIAUPOS.CO) -- Saat KPK menetapkan Sofyan Basir sebagai tersangka, suhu di internal pegawai di Deputi Penindakan memanas. Itu seiring munculnya surat terbuka dari sejumlah pegawai yang tidak terima dengan pelantikan 21 penyidik baru yang berasal dari penyelidik internal. Selain melalui surat petisi, protes itu juga disuarakan dengan menempel poster di sejumlah titik di gedung KPK.
Poster itu berisi narasi yang mengarah pada ajakan untuk mempertanyakan keabsahan penyidik internal yang dilantik pimpinan KPK pada Selasa (23/4). Dalam sebuah poster, narasi itu ditulis dengan kalimat “apa mau jadi penyidik ilegal?”. Di poster lain menuliskan narasi yang mengajak untuk tidak mempercayai kinerja Wadah Pegawai (WP) KPK periode 2018-2020.
Menurut sumber Jawa Pos di internal KPK, kelompok pegawai yang melayangkan protes itu diduga berasal dari penyidik Polri. Dugaan itu merujuk pada narasi yang dituangkan dalam surat terbuka sebanyak 6 lembar. Dalam surat yang tidak jelas siapa inisiatornya itu membeberkan sejumlah indikator yang menjadi alasan bahwa pelantikan 21 penyidik internal melanggar aturan.
Pertama, karena adanya pertemuan terbatas antara kelompok penyelidik dan penyidik senior yang ditengarai difasilitasi WP KPK. Pertemuan itu dituding sebagai wadah penyidik dan pegawai senior untuk menyampaikan pesan kepada penyelidik yang akan naik ke penyidik agar berani bersuara mengimbangi penyidik Polri.
”Perpindahan penyelidik menjadi penyidik tersebut adalah politis untuk menghilangkan ketergantungan dari penyidik sumber Polri,” tulis surat tersebut. Selain dianggap sebagai upaya untuk melemahkan kekuatan penyidik Polri, di surat itu juga menuding pelantikan penyidik internal adalah skenario membendung masuknya penyidik senior Polri menjadi ketua satgas di KPK.
Sumber di internal KPK menjelaskan, mencuatnya petisi yang diberi judul Surat Terbuka untuk Negeri itu seolah ingin menandingi petisi sebelumnya yang diinisiasi 114 penyidik dan penyelidik internal. Petisi sebelumnya yang dibuat pada 29 Maret itu menjabarkan kebuntutan penanganan kasus level kakap (big fish) di tingkat Kedeputian Penindakan.
”Mereka (oknum penyidik Polri, red) tuntutannya nggak jelas, sekilas masalah diskriminatif, tapi antara siapa dengan siapa?” tutur sumber tersebut kepada Jawa Pos (JPG). Dia pun menduga bahwa petisi yang “diramaikan” bersamaan dengan penetapan tersangka Sofyan Basir itu berkaitan dengan upaya menghalangi penanganan kasus big fish dari dalam.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menyebut, protes oknum penyidik Polri yang berstatus pegawai negeri yang diperbantukan (PNYD) itu merupakan bagian dari dinamika. Pimpinan, kata Saut, menganggap protes itu adalah sebuah kritik. ”Kami tetap berpikiran itu (surat terbuka, red) sebagai dinamika. Kami berlima (pimpinan KPK) bertanggungjawab kepada masyarakat Indonesia,” tuturnya.
Pun, poster-poster berisi protes yang dipasang di sejumlah titik di gedung KPK dibiarkan oleh pegawai. Pimpinan juga tidak memerintahkan petugas kebersihan untuk mencopot poster tersebut. ”Posternya nggak dilepas. Itu bagian dari dinamika,” tuturnya. Saut pun memastikan pelantikan 21 penyidik dilakukan sesuai prosedur. Sebagian besar berasal dari internal yang berlatar belakang auditor.
Jabatan Sofyan Basir Dinonaktifkan dari PLN
Karir Sofyan Basir di PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) terancam berakhir. Selain ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Sofyan juga telah dinonaktifkan dari jabatannya sebagai Direktur Utama (Dirut) PT PLN. Posisi strategis itu diisi M Ali (Direktur Human Capital Management PT PLN) sebagai pelaksana tugas (plt).
Penonaktifan Sofyan dari jabatan dirut dilakukan sesuai dengan anggaran dasar Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT PLN. Sekretaris Kementerian BUMN Imam Apriyanto mengatakan, pihaknya mempunyai waktu 30 hari untuk melakukan proses pergantian dirut. ”Dan untuk sementara mengangkat plt, Pak Muhammad Ali,” terangnya, Rabu (24/4).(vir/tyo/lim)
>>>Selengkapnya baca Harian Riau Pos
Laporan JPG, Jakarta
Editor: Rindra yasin