TERSANDUNG BENIH LOBSTER

Menteri KKP Diduga Terima Suap Rp9 M

Nasional | Kamis, 26 November 2020 - 11:02 WIB

Ditangkapnya Edhy atas dugaan kasus ekspor benur tentu menyeret sejumlah perusahaan yang mengantongi izin eksportir benih lobster ini. Diantaranya, PT Alam Laut Agung, PT Bima Sakti Bahari, hingga PT Royal Samudera Nusantara. 

JPG mencoba mengkonfirmasi salah satu perusahaan tersebut, yakni PT Bima Sakti Bahari. Di mana, kepemilikan saham perusahaan tersebut diketahui dimiliki oleh PT Arsari Pratama. Komisaris utama PT Bima Sakti Bahari ialah Hashim Djojohadikusumo dan posisi Dirut dipegang anaknya, Rahayu Saraswati. Hashim sendiri merupakan adik dari Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra. 


Saat dikonfimasi mengenai dikaitkannya kembalinya PT Bima Sakti Bahari dalam isu ekspor benih lobster, Rahayu Saraswati mengaku sudah tak lagi menjabat sebagai dirut di perusahaan tersebut. Ia melepas jabatan tersebut lantaran tengah maju dalam pilkada. 

"Lah aturannya kan memang harus mundur. Dan secara mental juga nggak mungkin bisa handle perusahaan sambil pilkada," ujarnya.

Selain itu, menurut dia, persoalan mengenai tuduhan monopoli hingga pemberian jatah ekspor benur oleh KKP sudah dijabarkan melalui akun youtube-nya, Lets talk with Sarah (LTWS). Dalam akun tersebut, memang ada pembahasan mengenai buka-bukaan budidaya lobster. Di sana, Hasim curhat soal segala tuduhan yang ditujukan pada keluarganya. Ia pun secara tegas menampiknya. 

Dalam potongan penjelasannya, Hashim mengatakan, keluarganya sudah bergerak di bidang kelautan selama 34 tahun dengan ekspor pertama mutiara. Sehingga, berurusan dengan badan karantina ataupun KKP bukan hal baru. Namun, diakuinya, bisnis tersebut sempat mengalami kerugian dan mandek. Ia pun mulai berpikir melakukan diversifikasi daripada harus mem-PHK ratusan pekerjanya. Mulai dari budidaya teripang hingga lobster. Sayangnya, lima tahun sebelumya budidaya lobster dilarang. Sehingga niatan tersebut jalan ditempat.

"Baru dengan menteri baru, (budidaya, red) diutamakan," katanya.

Tapi harus digarisbawahi bahwa yang diberikan itu izin budidaya, bukan ekspor. Jadi, setelah dilakukan budidaya baru sebagian produksinya boleh diekspor. Ia juga mengaku sakit hati, ketika isu ini membuat dirinya melakukan monolopi, oligopoli, bahkan terafiliasi dengan Gerindra. Dia menolak dikatakan seperti itu karena izin tersebut dibuka untuk 50 perusahaan. 

"Saya ingin bapak ibu cek siapa yang dapat, kok Gerindra saja yang disebut. Saya minta fairness," ungkapnya. 

Selain itu, kata dia, kalau pun dirinya ada niatan korupsi, Kementerian Pertahanan yang bakal jadi sasaran. Bukan lobster. Ia sendiri pernah didekati beberapa pihak yang mengajak kerja sama untuk proyek di Kementerian Pertahanan, namun tegas ditolaknya.

"Kalau Prabowo dan saya mau korupsi, di sana. Tapi kami tidak ingin. Keluarga kami bukan begitu," tegasnya. 

Hashim juga menyinggung soal tuduhan budidaya lobster ini bakal merusak lingkungan. Ia mengatakan, tak mungkin melakukan itu. Keluarganya sendiri sudah bergerak di bidang lingkungan sejak lama. Bahkan, sudah mengeluarkan dana miliaran untuk konservasi. 

Sementara itu Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak banyak berkomentar atas tertangkapnya Edhy. Dia hanya menyatakan bahwa pemerintah menghormati proses hukum yang tengah berjalan di KPK. 

"Saya percaya KPK bekerja transparan, terbuka, profesional. Pemerintah konsisten mendukung upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi," ujar Jokowi di Istana Merdeka, kemarin.

Edhy menjadi menteri pertama Jokowi yang terjaring OTT KPK. Sekaligus menteri pertama di era Kabinet Indonesia Maju yang berurusan dengan lembaga antirasuah itu. Dua menteri sebelumnya, yakni Idrus Marham dan Imam Nahrawi, masuk bui lewat prosedur penetapan tersangka, bukan OTT. Mereka terjerat kasus di periode sebelumnya, yakni Kabinet Kerja.

Idrus yang kala itu menjabat Menteri Sosial (Mensos) ditetapkan sebagai tersangka kasus suap proyek pembangunan PLTU Riau 1 pada 24 Oktober 2018. Di hari yang sama, beberapa jam sebelum diumumkan sebagai tersangka, dia mundur dari jabatannya sebagai mensos. Idrus kemudian divonis tiga tahun penjara oleh pengadilan Tipikor Jakarta.

Setelah banding dan kasasi, hukuman Idrus dipotong menjadi dua tahun. Sementara Nahrawi ditetapkan sebagai tersangka kasus suap pemberian dana hibah KONI pada 18 September 2019. Sehari setelahnya, dia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai menteri pemuda dan olahraga (menpora). Nahrawi divonis tujuh tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta. Dia sempat mengajukan banding, namun ditolak.

Di sisi lain, Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko mengklarifikasi posisi Ali Mochtar Ngabalin yang sempat ikut ditangkap KPK. Dia satu pesawat dengan Edhy dan sama-sama pulang dari AS. "Kepergian Pak Ngabalin selaku dewan pembina di kementerian KKP," terangnya saat dikonfirmasi kemarin.

Ngabalin memang tidak hanya menjadi Tenaga Ahli Utama di KSP. Dia juga merupakan Dewan Pembina di KKP.  Moeldoko mengakui bahwa Ngabalin memang ke AS. "Pak menteri KKP pernah minta izin saya untuk bisa membawa (Ngabalin) kunker ke AS. Jadi tidak ada kaitannya dengan tugas KSP," lanjut mantan Panglima TNI itu.

Yang jelas, untuk saat ini pihaknya belum akan mengambil sikap apapun terkait Ngabalin. Menurut Moeldoko, pihaknya akan menunggu perkembangan lebih lanjut dari KPK sehingga posisinya menjadi jelas. Ngabalin sendiri hingga tadi malam belum bisa dikonfirmasi.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mohammad Mahfud MD turut menegaskan kembali komitmen pemerintah dalam mendukung pemberantasan korupsi. Dia pun menyinggung soal kesiapan mem-back up KPK agar tidak diintervensi oleh pihak mana pun. "Pemerintah selalu mendorong KPK bertindak profesional," ungkap dia kemarin. 

Dalam hal ini, pemerintah memastikan bahwa lembaga antirasuah tidak perlu khawatir menindak setiap perbuatan tindak pidana korupsi. Tidak terkecuali yang meyangkut pejabat-pejabat publik di level atas. Mahfud juga menyatakan, dukungan terhadap KPK dilakukan pemerintah lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 102 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

"Agar KPK bisa leluasa melakukan supervisi ke kejaksaan dan kepolisian," beber mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut. Dia menyatakan, pemerintah menghargai langkah-langkah yang dilakukan oleh KPK. 

Menurut Mahfud, pemerintah tidak akan mengintervensi. Pemerintah menyerahkan proses sesuai dengan hukum yang berlaku. "Pemerintah belum tahu pasti tindak pidana apa yang dilakukan atau diduga dilakukan oleh Pak Edhy Prabowo, sehingga ditangkap dengan OTT oleh KPK," ungkap dia kemarin. 

Namun demikian, pemerintah mendukung tindakan yang dilakukan oleh KPK. "Dan silakan itu dilanjutkan sesuai dengan hukum yang berlaku," ujar tambahnya. (tyo/byu/syn/han/mia/jpg/ted)

Laporan: JPG (Jakarta)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook