JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Mantan Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Mochamad Ardian Noervianto dituntut 8 tahun penjara denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ardian dinilai terbukti bersalah menerima suap terkait dana pinjaman pemulihan ekonomi nasional (PEN) untuk Kabupaten Kolaka Timur tahun anggaran 2021.
Merespons ini, tim kuasa hukum Ardian, Reno Rahmat Hajar menyebut, Jaksa KPK telah mengabaikan fakta yang terungkap dalam persidangan. Bahkan, ada beberapa keterangan saksi dalam berita acara penyidikan (BAP) dicabut oleh jaksa.
“Jaksa banyak mengabaikan fakta persidangan,” kata Reno kepada wartawan, Kamis (22/9/2022).
Dia menampik, kliennya tidak pernah memberi persetujuan atau kesepakatan untuk membantu Bupati Kolaka Timur Andi Merya Nur untuk mendapat pinjaman PEN sebesar Rp350 miliar. Menurutnya, hal ini pun sempat dibantah oleh Andi Merya di persidangan.
“Saksi menyatakan belum ada pembahasan angka saat pertemuan di ruang kerja terdakwa Ardian, sehingga proposal usulan pinjaman PEN Kolaka Timur diserahkan kepada staf terdakwa Ardian,” ujar Reno.
Dia pun mengutarakan, kliennya tidak pernah meminta fee kepada Andi Merya untuk memuluskan pinjaman PEN Kolaka Timur. Menurutnya, pertemuan yang dilakukan pada 10 Juni 2021 antara Mochammad Ardian dengan Laode M Syukur Akbar yang dianggap Moch Ardian meminta fee tidak pernah ada.
“Saksi Laode M Syukur Akbar juga menyatakan sebenarnya tidak ada permintaan persen dari Terdakwa Ardian. Yang menentukan angka 1 persen adalah Sukarman,” ungkap Reno.
Bahkan kliennya di persidangan pun telah menegaskan, tidak pernah memberikan prioritas kepada Kabupaten Kolaka Timur untuk dapat dibahas dalam Rapat Koordinasi Teknis (Rakortek) antara PT SMI, DJPK, Kemendagri dan Pemda. Karena itu, Ardian melalui kuasa hukumnya meminta agar majelis hakim mencermati fakta persidangan.
“Untuk itu, kita meminta majelis hakim untuk mencermati dan mempertimbangkan fakta-fakta yang menunjukkan bahwa terdakwa seharusnya tidak memenuhi unsur-unsur yang didakwakan,” tegasnya.
Sebelumnya, mantan Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Mochamad Ardian Noervianto dituntut 8 tahun penjara denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan. Ardian terbukti bersalah menerima suap terkait dana pinjaman pemulihan ekonomi nasional (PEN) untuk Kabupaten Kolaka Timur tahun anggaran 2021.
“Menyatakan terdakwa Mochamad Ardian Noervianto telah bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut. Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa selama 8 tahun dikurangi selama menjalani penahanan dan pidana denda sebesar Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan,” uxap jaksa KPK dalam surat tuntutannya di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (15/9/2022).
Selain pidana badan, jaksa KPK juga menuntut hakim menjatuhkan pidana tambahan terhadap Ardian. Pidana tambahan itu berupa kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp1,5 miliar.
Jika Ardian tak membayar uang pengganti setelah satu bulan usai vonisnya inkrah, maka harta bendanya akan disita dan dilelang untuk menutupi kewajiban uang pengganti. Namun jika hartanya tak cukup, maka diganti pidana selama 3 tahun.
“Menghukum dengan pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp1,5 miliar subsider 3 tahun,” cetus jaksa.
Ardian dituntut melanggar Pasl 12 huruf a Jo Pasal 18 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, atau Pasal 11 Jo Pasal 18 UU Tipikor Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Edwar Yaman