JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Kasus dugaan jual beli barang bukti (Barbuk) narkotika memunculkan fenomena bahwa penegak hukum tidak sepenuhnya memahami Undang-Undang Nomor 35/2009 tentang Narkotika. Mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen (Purn) Anang Iskandar menuturkan, sebenarnya ada ancaman hukuman pidana bagi penegak hukum yang menunda pemusnahan barang bukti melebihi satu pekan.
Dalam berita sebelumnya disebutkan dalam Pasal 91 ayat 1 dalam UU Narkotika bahwa setelah menerima pemberitahuan penyitaan barbuk narkotika, Kepala Kejaksaan Negeri setempat wajib dalam satu pekan menetapkan status barang sitaan untuk pembuktian perkara dan pemusnahan.
Anang menuturkan, selanjutnya dalam Pasal 140 ayat 2 disebutkan bahwa penyidik Polri dan BNN yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan Pasal 91, dipidana dengan penjara paling singkat satu tahun dan paling lama 10 tahun. Serta, pidana denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp1 miliar. "Dalam Pasal 140 ayat 1 penyidik PNS juga bisa dipidana," ujarnya.
Bukan hanya penyidik Polri, BNN, dan PNS yang diancam pidana. Bahkan, Kepala Kejaksaan Negeri setempat pun diancam pidana yang sama dalam Pasal 141. Begitu detailnya UU tersebut, bahkan mengatur hingga petugas laboratorium yang memalsukan hasil pengujian diancam pidana tujuh tahun penjara dan denda Rp500 juta. "Jadi, UU Narkotika ini sifatnya khusus atau lex specialis," jelasnya.
Namun, penegak hukum dari kepolisian, kejaksaan hingga bahkan hakim masih banyak yang tidak memahami UU Narkotika. Para penegak hukum tersebut hampir selalu berpedoman ke KUHAP. "Penyidik, jaksa bahkan hakim mengabaikan," ujarnya.
Padahal, seharusnya setiap kasus narkotika itu berpedoman kepada UU Narkotika. Kasus narkotika tidak lagi berpedoman kepada KUHAP, karena telah ada UU yang khusus atau lex specialis. "Patokannya UU Narkotika, bukan KUHAP," tegasnya.
Menurutnya, bahkan beberapa waktu lalu ada hakim yang melanggar UU. Dengan memutuskan untuk memusnahkan barbuk narkotika. "Jelas salah, itu kewenangannya Kepala Kejaksaan Negeri setempat," terangnya kepada Jawa Pos (JPG).
Anang pun kembali mengingatkan penegak hukum terkait Pasal 91. Kini fenomenanya penegak hukum kerap kali mengumpulkan barbuk narkotika dalam satu kasus menjadi satu. Yang kemudian dirilis dan dimusnahkan bersamaan. "Jelas itu melanggar UU Narkotika. Waktunya hanya seminggu harus dimusnahkan," tegasnya.
Bahkan, sebenarnya terkait narkotika itu sudah ada peraturan di BNN yang secara detil dan lengkap mengaturnya. Namun, lembaga lainnya seperti Polri, Kejaksaan dan Mahkamah Agung (MA) tidak menggubrisnya. "Padahalnya, aturan yang ada di BNN itu diamini dan diserap menjadi regulasi teknis di lembaga lain," tuturnya.
Sementara Kuasa Hukum Irjen Teddy, Henry Yosodiningrat menjelaskan, terkait dugaan Irjen Teddy sebagai pengguna, dapat dipastikan bahwa bukan pengguna. Kapolri juga telah menyatakan bahwa bukan pengguna. "Karena dampak dari perawatan gigi itu," terangnya.
Menurutnya, untuk dugaan pengedar itu sebenarnya Teddy memerintahkan undercover buying. Dengan memperkenalkan Linda yang ingin membeli narkotika dengan Kapolres Bukittinggi. "Karena ingin menjebak Linda untuk undercover buying dengan narkotika yang disisihkan Kapolres Bukittingi," jelasnya.
Apalagi, Linda merupakan sosok yang menipu Teddy hingga merugi puluhan miliar rupiah dalam upaya membongkar penyeludupan narkotika lintas negara. "Tapi, malah bukan undercover buying karena Kapolres Bukittinggi menjualnya di Jakarta. Bukan wilayah kewenangan Polda Sumbar," ujarnya.(idr/jpg)