JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Persoalan pengelolaan dana jaminan social (DJS) terus menjadi perhatian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, lembaga antirasuah itu kembali melakukan kajian untuk mengatasi defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dari sisi efisiensi pengeluaran.
Dari kajian yang dilakukan tahun lalu itu, KPK menemukan adanya inefisiensi dari sisi pengeluaran dalam tata kelola dana jaminan sosial (DJS) kesehatan tersebut. Hal itu disebabkan oleh beberapa hal. Diantaranya, adverse selection dan moral hazard peserta mandiri. "Kajian ini ditujukan untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, kemarin (13/3).
Pada 2018, total defisit jaminan kesehatan nasional (JKN) mencapai Rp 12,2 triliun. Sebesar 45 persen dari angka defisit itu akibat tunggakan iuran peserta mandiri sebesar Rp 5,6 triliun. Selain tunggakan, KPK juga menemukan adanya ketidaksesuaian klaim kelas rumah sakit atau over payment. Kondisi itu mengakibatkan inefisiensi Rp 33 miliar per tahun.
"Fraud (kecurangan) di lapangan, masih ditemukan, seperti up-coding dalam analisa, re-admisi, phantom billing, unbunding dan lainnya," jelas Ghufron di gedung KPK. Temuan-temuan kecurangan yang umumnya dilakukan pihak rumah sakit itu kian memperburuk tata kelola DJS dari sisi pengeluaran. "Jadi masih ditemukan fraud dalam proses klaim," imbuhnya.
Karena itu, KPK memberikan rekomendasi untuk mengatasi persoalan defisit BPJS. Saran yang tidak mengikat tersebut diantaranya meminta Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mempercepat penyusunan pedoman nasional praktik kedokteran (PNPK) esensial dari target 80 jenis PNPK. Data Juli 2019 lalu, baru tercapai 32 PNPK.
Menurut KPK, ketiadaan PNPK itu mengakibatkan perlakuan yang tidak perlu (unnecessary treatment). Misal, klaim penyakit katarak yang pada 2018 mencapai Rp 2 triliun. Padahal, estimasi unnecessary treatment maksimal Rp 200 miliar. "Di tahun 2018 juga terdapat kasus unnecessary bedah caesar dan fisioterapi," paparnya.
KPK juga menyarankan pembatasan pemberian manfaat DJS bagi pasien dengan penyakit katastropik. Penyakit itu umumnya disebabkan gaya hidup tidak sehat, seperti merokok dan minum minuman beralkohol. "Total claim pada 2018 penyakit katastropik sebesar 30 persen (Rp 28 triliun) dari total klaim sebesar Rp 94 triliun," imbuh Ghufron.(tyo/jpg)