Anak Usia 6-11 Baru Bisa Vaksin Tahun Depan
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam rapat dengan Komisi IX DPR RI, kemarin (8/11) mengatakan bahwa uji klinis terkait obat-obat Covid-19 tengah dilakukan. Ketika ada kenaikan kasus Covid-19, obat yang sudah teruji ini dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian. Pada kesempatan itu, Budi juga mengeluhkan belum bisa mencukupi vaksin di Indonesia. Ini terkait dengan adanya emergency use authorization (EUA) Vaksin Sinovac untuk anak 6 sampai 11 tahun. "Yang lagi ramai dibicarakan adalah Molnupiravir dari Merck," ucap Budi.
Obat ini diberikan kepada orang yang saturasinya di atas 95 atau yang belum masuk rumah sakit. Ucapan Budi ini berdasar dari hasil uji klinis di beberapa negara. Budi menjelaskan bahwa kunjungannya ke Amerika beberapa waktu lalu membuahkan hasil yang positif. Merck mau menjual Molnupiravir kepada Indonesia. Jumlahnya 600 ribu sampai 1 juta tablet akan datang pada Desember.
Selanjutnya untuk vaksinasi, yang menjadi pekerjaan rumah terbaru adalah pemberian vaksin Covid-19 kepada anak usia 6 sampai 11 tahun. Sejauh ini, Sinovac, Sinopharm, dan Pfizer yang sudah mendapatkan EUA di luar negeri. Sementara di Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) baru memberikan EUA pada Sinovac. Jumlah anak usia 6 sampai 11 tahun di Indonesia ada 26,4 juta jiwa. Artinya vaksin Covid-19 yang diperlukan mencapai 58,7 juta dosis.
"Ini belum ada di anggaran kita. Namun, sudah dipastikan dimasukkan pada anggaran tahun depan," ucapnya.
Kemenkes memang memprioritaskan vaksin Covid-19 untuk lansia terlebih dahulu. Sebab, risiko kesakitan dan kematian akibat infeksi Covid-19 pada lansia cukup tinggi dibanding dengan anak.
Sementara itu, usai menerbitkan izin emergency use of authorization (EUA) vaksin Sinovac untuk anak usia 6-11 tahun, kini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tengah menunggu proses pendaftaran dua vaksin lainnya untuk menyusul. Yakni Sinopharm dari Cina dan Pfizer dari Amerika Serikat.
Kepala BPOM Penny K Lukito menyampaikan, Sinopharm sudah mulai berporses registrasinya. Kendati begitu, pihaknya masih menunggu data lebih lengkap lagi dari Cina untuk bisa mengeluarkan UEA pada anak usia 3 tahun ke atas.
Sementara, untuk Pfizer pun sudah mendapat UEA untuk vaksinasi anak melalui FDA Amerika Serikat. Ia menunggu untuk bisa segera diregistrasikan di BPOM sehingga bisa dikeluarkan UEA-nya untuk vaksinasi Covid-19 anak usia 5 tahun ke atas.
"Karena usia tersebut lebih rentan, jadi perlu data lebih lengkap lagi untuk keamanannya," tuturnya.
Sebagai informasi, saat ini sendiri, setidaknya sudah 13 vaksin dari berbagai platform yang dapat UEA dari BPOM. Yakni, CoronaVac (Sinovac), Vaksin Covid-19 Bio Farma, AstraZeneca, Sinopharm, Moderna, dan Pfizer. Kemudian, Sputnik V, Janssen (Johnson & Johnson), Convidecia (CanSino), dan Zifivax.
Penny menegaskan, usai menerbitkan UEA tugas BPOM belum usai. BPOM tetap melakukan pengawasan guna memastikan mutu vaksin selama peredaran di daerah. BPOM juga bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan, Komnas KIPI, dan pihak-pihak terkait untuk mengawasi risiko yang masyarakat usai mendapat vaksinasi.
"BPOM juga penerbitan buku pedoman untuk pengelolaan dan penyimpanan vaksin di daerah yang bisa digunakan sebagai panduan bagi tenaga kesehatan," ungkapnya.
Sementara terkait rencana vaksinasi tahun 2022, Penny mengatakan, akan terus melakukan pengawalan dan pendampingan terutama dalam penggunaan vaksin produksi dalam negeri. Menurutnya, sudah ada persiapan beberapa produk yang rencananya akan digunakan nanti.
Kemudian, mengenai penerbitan UEA untuk vaksinasi dosis booster, BPOM juga sedang mendampingi untuk berbagai uji klinik sejumlah vaksin kandidat booster. Dia menegaskan, vaksin booster harus lolos uji klinis guna memastikan keamanan vaksin pada dosis tertentu dan menghasilkan respons imun yang baik. "Vaksin booster yang digunakan harus melalui EUA masing-masing negaranya, termasuk di Indonesia oleh BPOM," pungkasnya.
Direktur Utama (Dirut) PT Bio Farma Honesti Basyir menambahkan, hingga Desember 2021, jumlah vaksin yang akan masuk Indonesia mencapai 326,8 juta dosis yang terdiri dari tujuh jenis vaksin. Jumlah ini di luar vaksin hibah atau donasi dari Covac Facility. "Ini yang masuknya melalui kami. Karena ada beberapa vaksin yang langsung ke Kementerian Kesehatan," ungkapnya.
Selain ketersediaan vaksin, Honesti juga memastikan pasokan obat terapi Covid-19 aman pada masa Nataru nanti. Hal ini sebagai upaya antisipasi adanya lonjakan kasus positif Covid-19 pada akhir tahun nanti. Dia menjabarkan, untuk empat obat kategori utama bisa digunakan untuk ratusan ribu hingga jutaan pasien sesuai dengan dosisnya. Misal, Favipiravir tersedia untuk 335 ribu pasien, Remdesivir 21,5 ribu pasien, Oseltamivir bisa mengcover 1,2 juta pasien, dan Ivermectin 626 ribu pasien. Paket isolasi mandiri ini seluruhnya telah didistribuskan ke daerah.
"Kami harap bisa cukup. Tentu kita tidak harapkan adanya lonjangan seperti gelombang kedua kemarin ya," tuturnya.
Setelah pada Oktober lalu Merck mengumumkan Molnupiravir sebagai kandidat kuat obat oral untuk Covid-19, Pfizer mengumumkan obat oral bernama Paxlovid untuk terapi pasien Covid-19. Obat berjenis protease inhibitor yang mulanya dikembangkan pada tahun 2003 untuk mengobati infeksi virus SARS-CoV. Obat ini kemudian di re-purpose untuk pengobatan Covid-19. Menurut Pfizer, Paxlovid menunjukkan keberhasilan mengurangi tingkat keparahan (hospitalization) dan kematian hingga 89 persen dibandingkan mereka yang menerima suntikan plasebo bagi pasien dengan risiko tinggi.
Hingga hari ke 28 uji klinis, belum ada satupun pasien yang meninggal dibandingkan 10 kematian pada kelompok pasien yang hanya menerima suntikan plasebo. Dilaporkan bahwa Pfizer juga telah menyetorkan data-data pada Food and Drug Administration (FDA) untuk mendapatkan izin darurat atau emergency use authorization.
Epidemiolog dan Peneliti Pandemi dari Universitas Griffth Australia Dicky Budiman menyebutkan bahwa Paxlovid berpotensi menjadi terapi untuk berbagai jenis infeksi varian virus corona. Pil antivirus ini menjadi obat kedua setelah Merck yang menunjukkan efektivitas kuat untuk mengobati Covid pada fase awal penyakit. Dicky memperkirakan, tidak perlu waktu lama bagi Molnupiravir maupun Paxlovid untuk mendapatkan EUA dari FDA. "Saya memperkirakan sebelum akhir tahun 2021," Namun demikian meski obat antivirus dari Merck dan Pfizer ini sangat efektif, keduanya harus diberikan pada hari-hari pertama gejala.
Itu sebabnya, keberadaan kedua obat ini tidak lantas menghilangkan pentingnya membangun kekuatan 3T (testing, tracing, treatment) sebagai deteksi dini. "Jika hasil tes lama (seperti PCR) apalagi menunggu berhari-hari untuk tes dan hasilnya maka obat-obatan ini tidak akan bekerja dengan baik," jelas Dicky.(tau/mia/lyn/jpg)