Penghapusan PPKM Bagian dari Transisi ke Endemi

Nasional | Selasa, 03 Januari 2023 - 12:16 WIB

Penghapusan PPKM Bagian dari Transisi ke Endemi
Petugas kepolisian bersama Dinas Perhubungan melakukan penyekatan di Jalan Soebrantas Pekanbaru saat diberlakukan PPKM, beberapa waktu lalu. PPKM dicabut akhir tahun 2022 sebagai bagian dari transisi endemi. (EVAN GUNANZAR/RIAUPOS.CO)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menegaskan bahwa penghentian pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) merupakan wujud pemerintah mengurangi intervensi kepada masyarakat. Dia ingin masyarakat mandiri dalam penanganan Covid-19 ke depannya.

Ditemui saat di Istana Negara, Senin  (2/1) Budi menyatakan bahwa penghentian PPKM ini merupakan bagian dari transisi pandemi ke endemi. Untuk itu perlu meningkatkan partisipasi masyarakat.


Berkurangnya intervensi pemerintah dalam penanganan sebuah pandemi menurutnya merupakan hal wajar. Dia mencontohkan flu dan demam berdarah. ''Tidak ada intervensi dari pemerintah. Intervensi yang baik itu dari masyarakat,'' katanya, Senin (2/1).

Budi mengatakan PPKM dibuat untuk membatasi kerumunan dan mobilitas masyarakat. Tujuannya menghambat penularan. Ini dikarenakan belum ditemukan obat, vaksin, dan imunitas yang belum terbangun.

''Kita sudah lihat dan ternyata tidak perlu intervensi kepada masyarakat,'' ujarnya.

Sekarang kondisi imunitas masyarakat Indonesia sudah tinggi. Lalu apakah setelah PPKM dihapus, maka masyarakat bisa tidak pakai masker? Budi menyatakan bahwa pemakaian masker hanya di ruang tertutup, sempit, dan kerumunan. Namun dia mengembalikan kepada masyarakat. Apalagi jika kondisi sehat dan berada di ruang terbuka. ''Partisipasi dan kesadaran masyarakat itu penting,'' ujarnya.

Terpisah, Epidemiolog Griffith University Dicky Budiman menilai justru masyarakat belum siap dilepas begitu saja untuk menghadapi pandemi Covid-19 yang masih berlangsung. Walaupun, sudah memasuki tahun keempat.

Menurutnya, pemerintah lupa jika dalam pengambilan keputusan pencabutan PPKM ini harusnya tak hanya mengandalkan kuantitatif. Ada faktor kualitatif yang juga wajib jadi pertimbangan. Misalnya, kebiasaan masyarakat yang help seeking behavior-nya tidak pergi ke fasilitas kesehatan (faskes). Tapi, diobati sendiri di rumah dengan diagnosis yang dilakukan mandiri.

Belum lagi, banyak masyarakat belum paham pentingnya booster vaksin Covid-19 hingga yang paling mudah, cuci tangan. ''Artinya, bisa jadi rumah sakit kosong bukan berarti yang sakit (Covid-19, red) kosong. Enggak. Masyarakat Indonesia gak begitu,'' ujarnya.

Memang, kata dia, potensi akut dari pandemi sudah hampir terlampaui. Dampak keparahan menurun dengan modal vaksinasi Covid-19, terutama booster. Akan tetapi, yang jadi masalah adalah keberadaan subvarian yang lebih mudah menerobos proteksi vaksinasi dan lebih mudah membuat inveksi baru.

Karenanya, pencabutan PPKM tanpa ada ''rem'' lanjutan akan membuat kelompok rawan seperti lansia dan anak-anak yang belum mendapat vaksin primer maupun booster sangat berisiko mengalami keparahan, bahkan kematian.

''Walaupun proporsi akan lebih menurun. Tapi kalau bicara persentase dengan jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar, tentu angka 1 persen itu besar sekali,'' jelasnya.

Oleh sebab itu, dia menegaskan kembali pentingnya lanjutan dari PPKM sebagai bentuk dari public health and social measures (PHSM). Apapun bentuknya. Minimal, Indonesia memiliki ''rem''. Dampak negatif dari pencabutan total PHSM tanpa adanya rem sama sekali, menurutnya, dapat dilihat di Swedia. Sejak beberapa bulan lalu, Swedia telah melepas total pembatasan. Akibatnya, hingga akhir 2022, Swedia jadi negara paling banyak kematian akibat Covid-19 di Eropa.

''Data ini membuktikan PHSM diperlukan. Dalam bentuk apapun, nggak mesti PPKM. Dengan begitu kematian yang tak perlu bisa dicegah,'' katanya.

Sebagai informasi, ada enam komponen dalam PHSM yang dapat digunakan. Mulai dari upaya individu, upaya lingkungan, sistem rujukan, surveillance, physical distancing, dan lainnya.  ''Bisa juga dengan ketetapan soal internasional bordernya gimana? Mau pakai suhu saja, vaksinasi atau apa? Itu kan penting,'' sambungnya.

Dicky sejak awal memang menyatakan Indonesia belum saatnya mencabut total PHSM-nya. Terlebih, dilakukan saat masa Nataru. Di mana, mobilitas masyarakat dan tingkat keramaian masih sangat tinggi. Belum lagi, kondisi testing hingga surveillance sangat turun tajam.

Belum lagi, cakupan vaksinasi booster sangat rendah sekali. Terutama pada lansia, masih sekitar 30 persen untuk booster pertama dan di bawah 5 persen untuk booser kedua. ''Tentu ini sulit berprasangka (keputusan pencabutan PPKM, red) ini alasan medis, bukan politis,'' ungkapnya.

Menparekraf Sandiaga Uno kemarin menyatakan bahwa ada dampak positif dari pencabutan PPKM. Dia mencontohkan konser di Labuan Bajo yang mencapai 6.000 orang bisa terselenggara. ''Destinasi unggulan dipadati (wisatawan) dan tidak ada keraguan lagi,'' ungkapnya.

Dia meminta momentum pemulihan ekonomi harus tetap terjaga. Untuk mendukungnya, jumlah slot penerbangan terus ditambah. ''Agar konektivitas bisa kita tingkatkan,'' ujarnya.(mia/lyn/das )

Laporan JPG, Jakarta

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook