JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Meski sudah menerima surat panggilan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sejak pekan lalu, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak hadir dalam agenda pemeriksaan yang sudah dijadwalkan. Sejatinya, Tim Penyelidikan dan Pemantauan Komnas HAM telah menyiapkan pemeriksaan terhadap pimpinan KPK, Selasa (8/6).
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menyampaikan langsung hal itu kepada awak media.
"Pada hari ini (Selasa, red) semestinya kami meminta keterangan dari pimpinan KPK," kata dia.
Namun demikian, rencana tersebut urung dilakukan lantaran pimpinan KPK tidak hadir untuk memenuhi panggilan Komnas HAM. Untuk itu, Komnas HAM memastikan akan menjadwal ulang pemeriksaan para pimpinan KPK. Damanik menyampaikan bahwa instansinya mengharapkan semua pihak kooperatif. Termasuk pimpinan KPK.
"Dalam beberapa hari ini, kami jadwalkan surat pemanggilan kedua," ujarnya.
Menurut dia, itu perlu dilakukan lantaran Komnas HAM juga punya kewajiban memberi kesempatan kepada pihak yang diadukan atau dilaporkan untuk memberikan keterangan. Sehingga data dan informasi yang diterima berimbang. Komisioner Komnas HAM Choirul Anam menyebutkan, ada dua sebab yang membuat pimpinan KPK tidak datang kemarin. Pertama, disebutkan bahwa tengah ada rapat pimpinan atau rapim kemarin.
"Tapi, secara formal, yang dikasihkan kepada kami (lewat surat) ya mereka (pimpinan KPK, red) minta dijelaskan apa dugaan pelanggarannya," beber Anam.
Terkait permintaan tersebut, dia menyatakan pihaknya juga masih mendalami laporan yang 75 pegawai KPK. Sampai kemarin proses penyelidikan atas dugaan pelanggaran HAM dalam tes wawasan kebangsaan (TWK) di KPK masih berjalan. Sama sekali belum ada hasil final atau kesimpulan dari penyelidikan tersebut.
"Oleh karenanya, memang ada baiknya (pimpinan KPK) datang," jelas Anam. Dia memastikan, pihaknya tidak akan mengambil kesimbulan sebelum semua pihak yang terkait TWK di KPK mendapat kesempatan untuk memberikan keterangan.
Namun demikian, bila bersikeras tidak bersedia datang untuk menyampaikan keterangan, Komnas HAM tidak memaksa. Mereka akan meneruskan penyelidikan sesuai kewenangan yang dimiliki. Menurut Anam, pihaknya tidak akan mengirimkan surat panggilan lebih dari dua kali. Untuk itu, mereka berharap pada panggilan kedua, pimpinan KPK hadir.
"Jadi, kalau hari ini (kemarin) pimpinan KPK belum datang, tetap kami memberikan kesempatan, memberikan haknya," jelas dia.
Bukan hanya pimpinan KPK, Anam memastikan bahwa pihak-pihak terkait lainnya juga sudah dipanggil Komnas HAM. Termasuk di antara mereka pimpinan instansi pemerintah yang punya kaitan dengan TWK di KPK. Tidak kurang sepuluh surat sudah mereka kirimkan. Dan masih ada lima surat lagi yang sedang mereka siapkan untuk dilayangkan. "Jadi, beberapa pihak yang kami panggil itu besok (hari ini, red) berkomitmen untuk datang ke Komnas HAM," terang dia.
Sementara itu, Menteri PAN-RB Tjahjo Kumolo menyampaikan dukungannya kepada KPK yang belum memenuhi panggilan Komnas HAM. Komnas HAM sempat bermaksud memanggil KPK, Men PAN-RB, serta BKN untuk memperjelas duduk permasalahan TWK tersebut. Namun, menurut Tjahjo, ini tidak berurusan dengan pelanggaran HAM.
"Kami juga mendukung KPK, misalnya tidak mau hadir di Komnas HAM. Apa urusan kewarganegaraan itu urusan pelanggaran HAM?" katanya dalam RDP di DPR. Dia pun membandingkan tes ini dengan penelitian khusus atau litsus yang diberlakukan untuk tes CPNS pada 1985 silam, di mana data yang digunakan juga kurang lebih sama tentang wawasan kebangsaan.
Di lain pihak tiga lembaga non pemerintah internasional angkat suara terkait polemik TWK. Yakni Transparency International Indonesia (TII), Amnesty International Indonesia dan Greenpeace Indonesia. Mereka menyebut proses TWK yang berujung pemecatan 51 pegawai itu mengancam reputasi Indonesia di mata dunia.
"Ini menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi tidak menjadi prioritas dan bahkan diabaikan oleh pemerintah Presiden Joko Widodo," kata Sekretaris Jendral Transparency International Indonesia Danang Widoyoko dalam diskusi secara dalam jaringan (daring), kemarin.
Danang menjelaskan polemik TWK mengindikasikan adanya pelemahan KPK. Hal itu, kata dia, jelas bertentangan dengan komitmen pemerintah untuk memastikan independensi dan efektivitas lembaga antikorupsi sebagaimana diisyaratkan oleh Konvensi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) Menentang Korupsi (UNCAC) dan Prinsip-Prinsip Jakarta untuk Lembaga Antikorupsi.
Dia menambahkan, pelemahan KPK melalui proses TWK membuat reputasi Indonesia di mata dunia dalam hal pemberantasan korupsi kian mengkhawatirkan. Reputasi buruk Indonesia itu sebelumnya tergambar dalam turunnya skor indeks persepsi korupsi (IPK) tahun 2020. Yakni dari 40 poin di 2019 menjadi 37.
"Padahal skor IPK secara konsisten terus mengalami peningkatan sejak 2001," ujarnya.
Danang menerangkan Indonesia sejatinya ikut menandantangani deklarasi politik yang mengikat negara-negara untuk memungkinkan badan-badan antikorupsi menjalankan fungsi pengawasan secara efektif dan bebas. Penandantangan itu dilakukan pada saat Sidang Khusus Majelis Umum PBB Menentang Korupsi (UNGASS).
Sementara itu, Direktur Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak mengingatkan adanya potensi serius peningkatan praktik korupsi di sektor sumber daya alam dan lingkungan jika KPK dilemahkan. Secara paralel, peningkatan praktik korupsi akan memperparah tingkat kerusakan lingkungan yang selama ini terjadi.
"Padahal, para pimpinan KPK sebelum yang saat ini mempunyai komitmen cukup kuat untuk mencegah dan menindak praktik-praktik korupsi lingkungan dan SDA," paparnya.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menambahkan pihaknya melihat adanya skenario besar di balik rencana pemecatan 51 pegawai KPK yang tidak lolos TWK itu. Jika skenario itu terbukti, Usman menyebut bisa dikategorikan pelanggaran atas sipil dan juga hak para pegawai tersebut sebagai pekerja.
Meski menimbulkan polemik berkepanjangan hingga melibatkan Komnas HAM, namun ada sebagian pihak yang mengapresiasi jalannya TWK pegawai KPK ini. Salah satunya disampaikan anggota Komisi II DPR Cornelis dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Kementerian PAN RB dan BKN Selasa (8/6).
"Saya ingin memberikan satu applaus, atau satu sikap dan saya salut dengan Men PAN-RB dan Kepala BKN dalam menyikapi permasalahan yang terjadi ribut-ribut 75 pegawai KPK ini," jelas politisi PDI Perjuangan tersebut.
Dia menilai wajar jika seseorang ingin beralih status menjadi ASN harus melewati serangkaian proses, salah satunya tes wawasan kebangsaan. "Barang ini sudah lama. Kalau memang tidak punya loyalitas kepada negara, Anda minggir. Karena menjadi birokrasi sipil dan militer di negara mana pun harus taat dan patuh pada negara," ujarnya.(deb/syn/tyo/jpg)