RIAUPOS.CO - Bupati (nonaktif) Kepulauan Meranti M Adil resmi berstatus tersangka setelah terjaring OTT KPK. Adil disangka menerima suap Rp26,1 miliar dari berbagai pihak. Pejabat yang sempat bersitegang dengan Kemenkeu pada Desember tahun lalu itu juga diduga memberikan suap untuk pengondisian predikat wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Wakil Ketua KPK Alexander Marwarta menjelaskan, Adil ditengarai terlibat dalam tiga kasus dugaan suap. Di dua kasus pertama, politikus yang digadang-gadang akan maju sebagai calon gubernur (cagub) pada Pilkada Riau 2024 itu berperan sebagai penerima suap. Yakni, suap berupa setoran dari kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dan suap fee pengadaan umrah.
Alex –sapaan Alexander Marwarta– mengungkapkan, setoran kepala SKPD itu bersumber dari pemotongan uang persediaan (UP) dan ganti uang persediaan (GUP) SKPD. Setoran itu dibuat seolah-olah utang yang harus dibayarkan kepada Adil. Besaran potongan UP dan GUP yang disetorkan kepada bupati berkisar 5 persen sampai 10 persen per SKPD.
Uang setoran itu kemudian dikumpulkan Fitria Nengsih, Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Meranti. Dalam kasus ini, Fitria menjadi tersangka pemberi suap. ”Setoran UP dan GUP dalam bentuk tunai,” kata Alex di KPK kemarin (8/4).
KPK belum memerinci total suap yang diterima Adil dari penerimaan setoran UP dan GUP tersebut. Namun, diduga uang itu digunakan Adil untuk berbagai keperluan. Salah satunya untuk membiayai operasional kegiatan safari politik Adil. Safari tersebut merupakan bagian dari rencana Adil maju dalam kontestasi Pemilihan Gubernur (Pilgub) Riau 2024.
Selain setoran SKPD, Adil ditengarai menerima suap dari PT Tanur Muthmainnah. Perusahaan yang bergerak di bidang jasa travel perjalanan umrah itu menyuap Rp1,4 miliar agar bisa memenangi proyek pemberangkatan umrah bagi para takmir masjid di Meranti. Uang tersebut dikumpulkan Fitria pada Desember tahun lalu.
Selanjutnya, di kasus ketiga, Adil disangka sebagai pemberi suap untuk M Fahmi Aressa, pemeriksa muda BPK Perwakilan Riau. Suap itu digunakan untuk mengondisikan pemeriksaan keuangan Pemkab Kepulauan Meranti pada 2022. Suap itu diperuntukkan agar pemkab setempat mendapatkan predikat wajar tanpa pengecualian (WTP) dari BPK.
Alex menyebut, Adil bersama Fitria memberikan uang Rp1,1 miliar kepada oknum BPK tersebut. Uang yang diamankan saat OTT itu kemudian menjadi bukti permulaan untuk menelusuri kasus tersebut. ”Total uang yang ditemukan dan diamankan dalam kegiatan tangkap tangan sebagai bukti permulaan sekitar Rp1,7 miliar,” ungkap Alex.
Dalam tiga perkara tersebut, KPK menjerat Adil dengan pasal berlapis. Yakni, sebagai tersangka penerima dan pemberi suap. Dia disangka melanggar Pasal 12 huruf f atau Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor. Juga, Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tipikor.
Sementara itu, Fitria disangka Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tipikor. KPK juga menetapkan pemeriksa BPK M Fahmi sebagai penerima suap dan disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tipikor. Tiga tersangka itu langsung ditahan di rutan KPK kemarin dini hari.
Setelah ditetapkan sebagai tersangka, Adil sempat menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat Kepulauan Meranti. Dia mengaku khilaf karena telah melakukan perbuatan melanggar hukum. Namun, Adil enggan berkomentar ketika ditanya lebih jauh mengenai materi kasus yang disangkakan KPK terhadap dirinya.
Sementara itu, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) memastikan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Meranti tetap berjalan setelah Adil ditetapkan tersangka. Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri Benni Irwan menuturkan, tugas penyelenggaraan pemerintahan Meranti nanti dipimpin Wakil Bupati Kepulauan Meranti Asmar. ”Wakil kepala daerah akan melaksanakan tugas dan kewenangan kepala daerah atau Plt kepala daerah,” ungkap Benni.(tyo/far/c14/oni/muh)
Laporan JPG, Jakarta