Mahfud: Perang Bintang Harus Diredam

Nasional | Senin, 07 November 2022 - 10:16 WIB

Mahfud: Perang Bintang Harus Diredam
Mohammad Mahfud MD (JPG)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Isu perang bintang di tubuh Polri merebak usai kasus Ferdy Sambo. Isu itu kembali muncul pascaberedarnya video berisi keterangan Ismail Bolong pada Februari lalu. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mohammad Mahfud MD pun meminta perang bintang ini harus diredam.

Menurut Mahfud, video itu dibuat oleh Ismail lantaran ditekan oleh Hendra Kurniawan. Namun demikian, belakang keterangan itu dibantah oleh Ismail. "Sudah dibantah sendiri oleh Ismail Bolong," ungkap Mahfud.


Ismail, lanjut Mahfud, merupakan mantan personel Polri. Pada Juni lalu yang bersangkutan mengajukan pensiun dini. Kemudian mulai 1 Juli 2022, Ismail sudah dinyatakan pensiun dari Polri. Diakui oleh Mahfud, isu perang bintang di Korps Bhayangkara terus menyeruak. Para perwira tinggi, kata dia, saling membuka kartu. Menurut dia, kondisi itu harus diredam. "Harus segera kita redam dengan mengukir akar masalahnya," tegas mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu.

Sebagai Menko Polhukam, Mahfud mengakui bahwa dirinya masih sering mendapat laporan berkenaan dengan mafia tambang. Dia pun memastikan bahwa pihaknya tidak tinggal diam. Koordinasi akan segera dilakukan oleh Mahfud untuk menuntaskan persoalan tersebut. "Nanti saya akan koordinasi dengan KPK untuk membuka file tentang modus korupsi dan mafia di pertambangan," beber dia.

Selain itu mafia perikanan, kehutanan, pangan juga bakal diurus oleh Mahfud. Lebih lanjut, Mahfud menyatakan bahwa isu terkait mafia tambang terus meluas. Termasuk yang terkait beking atau orang-orang di belakangnya.  Pada 2013 lalu, isu tersebut disinggung oleh KPK era Abraham Samad. Kala itu, disebutkan bahwa jika mafia tambang dan praktik korupsi sektor tambang diberantas, Indonesia bisa bebas utang "Bahkan setiap kepala, orang Indonesia bisa mendapat sekitar Rp20 juta setiap bulan," terang Mahfud mengutip ucapan Samad.

Kasus testimoni Ismail Bolong yang merupakan purnawirawan Polri terkait setoran tambang ilegal di Kalimantan Timur mencuat. Dalam testimoni pertamanya, dia menyebutkan menyetor Rp6 miliar kepada Kabareskrim Komjen Agus Andrianto untuk mengamankan tambang ilegalnya.

Namun, dalam testimoni keduanya, Ismail mencabut pernyataannya. Serta menyebutkan bahwa testimoni setoran ke Kabareskrim itu dibuat pada Februari lalu atas desakan Brigjen Hendra Kurniawan, yang saat itu menjabat Karopaminal.

Dalam testimoni pertama, Bolong mengaku merupakan pengepul batu bara ilegal di Kutai Kertanegara sejak 2020 hingga 2021. Aktivitas ilegal tersebut merupakan inisiatif pribadinya. "Saya mohon maaf ke pimpinan," ujarnya.

Selanjutnya, dia menyebutkan bahwa keuntungan dari tambang ilegalnya itu mencapai Rp5 miliar hingga Rp20 miliar per bulannya. Aktivitasnya tersebut telah diketahui Kabareskrim Komjen Agus Andrianto. "Karenanya saya menyetor uang sebanyak tiga kali, Oktober 2021 setor Rp2 miliar. Lalu, September Rp2 miliar dan November memberikan Rp2 miliar," jelasnya.

Penyetoran itu langsung diberikan ke Komjen Agus Andrianto saat bertemu di ruang kerjanya di Gedung Bareskrim. "Saya juga memberikan bantuan Rp200 juta ke Kasatreskrim Polres Bontang AKP Asriadi yang diserahkan langsung ke beliau," jelasnya.

Setelah video testimoni pertama itu, lantas muncul video testimoni kedua yang dilakukan Ismail Bolong. Dia menyebutkan merupakan anggota Polri yang telah pensiun dini sejak Juli 2002. "Saya minta maaf dan saya klarifikasi bahwa berita itu tidak benar," ujarnya.

Menurutnya, belum pernah sama sekali berkomunikasi dengan Kabareskrim. Bahkan, juga tidak mengenal Komjen Agus Andrianto. "Tidak pernah memberikan uang," urainya.

Lalu, dalam video terdengar ada yang bertanya kenapa baru viral sekarang? Bolong dengan terbata-bata menjawab juga kaget. "Saya perlu jelaskan pada Februari lalu datang dari Mabes Polri, khusunya dari Paminal Divpropam Polri," jelasnya.

Mereka meminta untuk membuat testimoni terkait Kabareskrim. Saat itu penuh dengan tekanan dari Brigjen Hendra Kurniawan. "Saya diancam akan dibawa ke Jakarta kalau tidak bikin testimoni," ujarnya.

Dikonfirmasi terkait testimoni tersebut, Komjen Agus hanya melihat pesan singkat melalui WhatsApp tanpa dibalas. Telepon dari Jawa Pos (JPG)  pun tidak diangkat. Sementara Kadivhumas Polri Irjen Dedi Prasetyo mengatakan, isu tersebut sudah lama. "Kan sejak Februari 2022," ujarnya.

Menurutnya, sebaiknya meminta konfirmasi ke Kadivpropam Irjen Syahardiantono. "Ke Kadivpropam saja. Saya sendiri belum ada informasi lebih lanjut. Belum bisa menanggapi ya," tuturnya mengaku sedang berada di Bali untuk pengamanan G20. Sementara Kadivpropam juga tidak membalas pesan singkat dan telepon terkait kasus tersebut.(idr/syn/len/jpg)

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook