JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Drama panjang RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law akhirnya sampai pada ending secara mendadak. Setelah muncul isu akan disahkan pada 8 Oktober, justru DPR mengebut pengesahannya pada Senin sore (5/10). RUU yang kerap disingkat Cilaka itu sah diketok palu pukul 17.55 WIB.
Rapat dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin. Agenda pengesahan RUU Cilaka sempat diletakkan pada urutan ketiga dari total tujuh pembahasan. Namun kemudian diputuskan menjadi pembahasan kedua. Rapat yang diharapkan selesai dengan cepat itu sempat menimbulkan perdebatan panas.
Fraksi Partai Demokrat yang menyuarakan penolakan paling keras. Anggota Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman yang pertama-tama meminta kesempatan bagi fraksinya untuk menyampaikan pandangan sebelum RUU benar-benar disahkan. Setelah sebelumnya fraksi lain sepakat tidak menyampaikan pandangan fraksi lagi, pada akhirnya Azis mempersilakan semua fraksi menyampaikan pandangan fraksi.
Masih sama seperti sebelumnya, tujuh fraksi setuju dan hanya dua yang menolak pengesahan RUU menjadi UU. Yakni Partai Demokrat dan PKS. Pandangan Fraksi Demokrat disampaikan oleh Marwan Cik Asan. "Fraksi Partai Demokrat sejak awal menilai RUU tidak memiliki urgensi dan kepentingan memaksa di tengah pandemi," tegas Marwan.
Rapat berlanjut, namun Benny masih keukeuh agar fraksinya menyuarakan penolakan keras. Karena tak diberi kesempatan lagi oleh pimpinan rapat, seluruh anggota Fraksi Partai Demokrat memilih walk out. "Kami memilih walk out dan tidak bertanggung jawab (atas hasil rapat paripurna)," tegas Benny.
Meski tidak sampai walk out, PKS juga konsisten menyampaikan penolakan terhadap RUU tersebut. Anggota FPKS Amin Akka menyatakan pembahasan UU ini baik secara formil maupun materiil telah bertentangan dengan politik huium kebangsaan.
"Kebijakannya membuat substansi liberalisasi sumber daya alam melalui pemberian kemudahan kepasa pihak swasta. Serta merugikan pekerjabdan buruh Indonesia terkait pasal-pasal hubungan kerja dan pesangon," ujar Amin.
Sebelumnya, fraksi-fraksi yang setuju juga diminta menyuarakan pandangan di podium rapat. Fraksi Partai Nasdem yang diwakili Taufik Basari menyatakan mereka menyetujui UU tersebut, tetapi dengan berbagai catatan.
"Kami setuju namun dengan catatan RUU ini menjaga keseimbangan kepentingan para buruh," ucap Taufik.
Kemudian, menjamin keadilan dan kepastian hukum terpenuhi bagi para pekerja. Karena Fraksi Partai Nasdem menilai bahwa banyak pasal yang dikhawatirkan akan merugikan pekerja. "Jangan sampai perubahan kebijakan ini melanggar hak asasi manusia. Jangan sampai justru terjadi PHk di mana-mana," tegas Taufik.
Sebelum dibawa ke paripurna pukul 15.00, Badan Musyawarah lebih dulu mengadakan rapat membahas surat Badan Legislasi yang sudah menyelesaikan pembicaraan tingkat 1 RUU Ciptaker. Rapat yang dimulai 12.30 itu akhirnya memuluskan jalan agar RUU dibahas dan disahkan di tingkat 2 sore harinya.
Namun, Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas menampik bahwa pembahasan ini terburu-buru. Rapat kerja dimulai 20 April dan selesai pada 3 Oktober untuk membahas 7.197 daftar inventarisasi masalah (DIM).
"Itu artinya ada waktu 6 bulan untuk itu. Dan itu maraton, nggak berhenti. Tapi meskipun banyak pasalnya, itu kita hanya harmonisasi dan sinkronisasi," jelas Supratman sebelum rapat paripurna berlangsung.
Dia bahkan menegaskan bahwa klaster yang paling kontroversial, yakni klaster ketenagakerjaan, mendapat atensi paling serius. "Perdebatan klaster ketenagakerjaan itu paling alot di antara semua klaster," terangnya.
Di samping itu, sebanyak tujuh UU akhirnya dikeluarkan karena dinilai tidak perlu sinkronisasi lagi. Ketujuh UU itu antara lain UU 40/1999 tentang Pers, UU 20/2003 tentang Pendidikan Nasional, UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen, UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, UU 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran, Uu 4/2019 tentang Kebidanan, dan UU 20/2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian.
Dalam forum paripurna, Supratman menjelaskan sejumlah poin yang sebelumnya menimbulkan kontroversi. Antara lain terkair PHK serta hilangnya hak untuk mendapat cuti hamil dan cuti haid. "Persyaratan PHK tetap mengikuti aturam dalam UU Ketenagakerjaan dan RUU Cipta Kerja tidak menghilangkan cuti haid dan cuti hamil yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan," tegasnya.
Lebih lanjut, dia juga menjelaskan tentang konsep jaminan kehilangan pekerjaan yang akan diberlakukan untuk melindungi pekerja yang di-PHK. Program ini, jelas dia, tidak hanya memberikan jaminan dalam bentuk uang tetapi juga upgrading skill. "Program JKP tidak mengurangi manfaat JKK, JKm, JHT, dan JP yang tidak menambah beban iuran para pekerja," lanjutnya.
Sementara itu Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan, ada 43.600 regulasi yang membuat daya saing Indonesia lemah dan dirapikan melalui adanya Omnibus Law. "Sebelum pandemi Covid-19, sudah ada sekira 43.600 regulasi, daya saing kita tertinggal di ASEAN," ujarnya dalam rapat paripurna.
Kepala BPJPH Kemenag Sukoso menyatakan masih menunggu dokumen resmi UU Ciptaker yang sudah diundangkan. Tetapi dia tidak menampik ada pembahasan self declare halal untuk UMK selama penggodokan RUU Ciptaker. Ketentuan untuk UMK juga nantinya fleksibel.
"Ketentuan saat ini iya yang (omsetnya, red) di bawah Rp1 miliar per tahun. Tapi itu tergantung kondisi," jelasnya.
Dorong Masyarakat Ajukan JR ke MK
Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis mengatakan, problem terbesar UU Cipta Kerja adalah banyaknya muatan atau isi yang ada di dalamnya.
"Berkaitan dengan berbagai macam undang-undang. Sekali lagi, materinya mencangkup berbagai undang-undang," terang dia saat dihubungi Jawa Pos (JPG), kemarin (5/10).
Menurut dia, dari sudut ilmu hukum, nama dan muatannya sudah bermasalah. Sebab, UU Cipta Kerja menggugurkan muatan dalam undang-undang yang lain. Dalam ilmu hukum, kata Margarito, tidak ada yang mengatur seperti UU Cipta Kerja. Yaitu, satu undang-undang menggugurkan banyak undang-undang yang lain. Seharusnya, jika ingin mengganti UU, maka harus membuat UU baru yang menjadi penggantinya.
Margarito mengatakan, dari sisi konstitusi, UU Cipta Kerja jelas bermasalah, karena UU yang menggunakan sistem Omnibus Law itu tidak memberikan kepastian hukum. Sebab, bisa saja di saat tertentu menggunakan UU Omnibus Law dan di waktu yang lain menggunakan UU yang lain.
"Kapan-kapan pakai UU yang lain, kapan-kapan pakai UU Omnibus," terang dia.
Dia pun mendorong masyarakat mengajukan JR ke MK. Serikat pekerja bisa segera mengajukan uji materi ke MK. Ormas, seperti Muhammadiyah, NU, dan ormas lainnya juga bisa mengajukan ke MK. Bahkan, pemerintah juga bisa mengajukan JR, karena da kewenangan perizinan yang diambil pemerintah pusat. (lum/deb/jpg)