MAKI: SEHARUSNYA SUDAH BISA DITAHAN

Firli Diperiksa 10 jam

Nasional | Sabtu, 02 Desember 2023 - 09:48 WIB

Firli Diperiksa 10 jam
Ketua KPK nonaktif Firli Bahuri dikawal ketat usai menjalani pemeriksaan di Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dittipidkor) Bareskrim Polri, Jakarta, Jumat (1/12/2023). Pemeriksaan dilakukan terkait kasus dugaan pemerasan terhadap eks Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. (FEDRIK TARIGAN/ JPG)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Ketua nonaktif KPK Firli Bahuri menjalani pemeriksaan pertama dengan status tersangka dalam kasus dugaan pemerasan kepada mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Selepas diperiksa, dia kembali berkoar bahwa ini merupakan serangan balik koruptor.

”Bukan hanya intervensi, bukan hanya tekanan, tetapi kita sadar bahwa musuh bersama kita adalah para koruptor dan juga serangan balik dari para koruptor itu sendiri,” katanya setelah diperiksa di Bareskrim, Mabes Polri, Jakarta, tadi malam (1/12).


Yang memeriksa Firli penyidik Polda Metro Jaya. Dia menjalani pemeriksaan selama kurang lebih 10 jam.

Firli menyampaikan bahwa dirinya taat hukum dan menjunjung tinggi supremasi hukum. ”Tentu, kami berharap rekan-rekan semua mengawal proses hukum yang sudah berjalan, kita hormati asas praduga tak bersalah, dan juga kita pastikan bahwa kepastian hukum akan berjalan,” ujarnya di hadapan para wartawan.

Tapi, menurut Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman, Firli seharusnya sudah bisa ditahan penyidik. Dia menilai, selama ini mantan Kapolda Sumatera Selatan tersebut sudah bersikap tidak kooperatif.

Salah satu buktinya adalah mangkir dari beberapa jadwal pemeriksaan. Kemudian meminta pemeriksaan dipindahkan di gedung Bareskrim. ”Saya minta dilakukan penahanan karena alasan utama penahanan itu kan tidak kooperatif,” kata dia.

Selain Firli, kemarin penyidik juga memanggil Ketua Harian PBSI Tirta J. Darmadji alias Alex Tirta. Setelah menjalani pemeriksaan kurang lebih sembilan jam, Alex menyampaikan bahwa pemeriksaan kemarin adalah lanjutan dari pemeriksaan sebelumnya di Polda Metro Jaya. ”Jadi, hanya memperjelas itu semua,” ucapnyaa.

Oleh penyidik, dia ditanyai 13 pertanyaan. Seluruhnya seputar safe house yang disewa Firli.

Alex menyebutkan, rumah di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, itu disewa Rp650 juta. Pembayarannya dilakukan secara tunai menggunakan uang pecahan rupiah. ”Sudah saya jelaskan ke penyidik,” jawab dia saat ditanya lebih lanjut terkait dengan rumah tersebut.

Alex mengakui, dirinya juga sempat bertemu dengan Firli di gedung Bareskrim. Namun, keduanya tidak banyak bicara. ”Sebatas salam saja,” ujarnya.

Dalam keterangan tertulisnya pada awal bulan lalu (1/11), Alex mengatakan, awalnya rumah tersebut dipakai olehnya untuk mengakomodasi tamu bisnis dari luar negeri. Namun, karena pandemi Covid-19 melanda, rumah tersebut tak dipakai lagi olehnya.

Pada 2020 dia bertemu dengan Firli. Saat itu Firli menyampaikan butuh sebuah rumah singgah karena rumah pribadinya di Bekasi dinilai terlalu jauh dari Jakarta. Alex kemudian menyarankan Firli untuk melanjutkan sewa rumah itu dan disetujui, tapi tidak perlu ada perubahan nama penyewa.

”Mulai Februari 2021, Bapak Firli mulai menyewa rumah itu dengan membayar ke saya sebagai pihak penyewa ke pemilik rumah tersebut. Bapak Firli membayar Rp650 juta yang uangnya langsung saya kirim ke pemilik,” jelas Alex.

Revisi UU KPK
Pakar hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari sepakat dengan pernyataan mantan Ketua KPK Agus Rahardjo terkait pelemahan pemberantasan korupsi lewat revisi UU KPK. Feri menyebutkan, UU KPK hasil revisi menegaskan bahwa KPK berada di rumpun eksekutif. Ketentuan itu tertuang di Pasal 3 UU Nomor 19 tentang KPK.

Konsekuensi dari ketentuan itu, kata Feri, adalah presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan (eksekutif) sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 UUD 1945 secara aturan bisa mengintervensi KPK. ”Itulah yang menjadi sumbu paling utama dalam kerusakan KPK di era Jokowi,” kata Feri saat dihubungi JPG, kemarin.

Sebelumnya, dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, status KPK tidak disebut secara tegas berada di rumpun eksekutif. KPK disebut sebagai lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari kekuasaan mana pun. Hal itu tertuang dalam Pasal 3 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Sementara di revisi UU KPK, ketentuan pasal 3 tersebut diubah menjadi KPK adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. Perubahan itulah yang menegaskan bahwa KPK berada di bawah presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan.

Terpisah, Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana menepis keterangan yang disampaikan Agus di salah satu stasiun TV swasta nasional. Menurut dia, tidak pernah terjadi pertemuan antara Presiden Joko Widodo dan Agus yang membahas soal perkara korupsi e-KTP.

”Setelah dicek, pertemuan yang diperbincangkan tersebut tidak ada dalam agenda presiden,” ungkapnya kepada awak media di Jakarta.

Ari menambahkan, sebagaimana telah diketahui semua pihak, proses hukum perkara tersebut tetap berjalan. Bahkan, mantan Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) sudah divonis bersalah dengan putusan berkekuatan hukum tetap sejak 2017.

Ari menegaskan, presiden secara resmi telah menyatakan dukungan atas penanganan perkara itu. ”Presiden dalam pernyataan resmi 17 November 2017 dengan tegas meminta agar Setya Novanto mengikuti proses hukum di KPK,” imbuhnya.

Bukan hanya itu, Ari menyatakan bahwa revisi UU KPK yang berjalan pada 2019 bukan inisiatif pemerintah. Revisi UU tersebut merupakan inisiatif DPR. Revisinya juga dilakukan jauh setelah Setnov menjalani proses hukum dan dinyatakan bersalah.(syn/tyo/c19/ttg/jpg)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook