MAKI Laporkan Alexander Marwata ke Dewas KPK Buntut OTT Basarnas

Nasional | Rabu, 02 Agustus 2023 - 17:27 WIB

MAKI Laporkan Alexander Marwata ke Dewas KPK Buntut OTT Basarnas
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata. (DERY RIDWANSAH/JAWAPOS.COM)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) melaporkan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK. MAKI menduga, Alexander Marwata melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku insan KPK yang diatur dalam Peraturan Dewan Pengawas KPK nomor 01 tahun 2020 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku.

Pelaporan terhadap Alexander Marwata buntut polemik operasi tangkap tangan (OTT) KPK di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) RI. Sebab, penetapan tersangka terhadap Kepala Basarnas Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi sempat mendapat penolakan.


"Pimpinan KPK seharusnya melakukan koordinasi dengan Puspom TNI untuk membentuk Tim Penyidik Koneksitas sebelum menetapkan dan mengumunkan tersangka Henri Alfiandi. Dengan belum terbentuknya Tim Penyidik Koneksitas, namun Alexander Marwata melakukan pengumuman penetapan tersangka adalah diduga melanggar wewenang selaku pimpinan KPK," kata kuasa hukum MAKI Kurniawan Adi Nugroho di Gedung ACLC KPK, Jakarta, Rabu (2/8/2023).

Terlebih, sehari setelah menetapkan Henri Alfiandi sebagai tersangka, Alexander Marwata mengaku tidak pernah menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) terhadap Marsekal Madya Henri Alfiandi sebagai dasar penetapan status tersangka. Seharusnya, surat perintah penyidikan sebagai dasar diterbitkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang berdasar putusan Mahkamah Konstitusi harus diberikan kepada Jaksa Penuntut Umum dan Tersangka jangka waktu maksimal tujuh hari sejak terbit Sprindik. 

"Hal ini menimbulkan konsekuensi hukum penetapan tersangka oleh KPK sebagaimana dinyatakan oleh terlapor (Alex Marwata) terhadap Henri Alfiandi (Kepala Basarnas) adalah tidak sah karena tidak didasari adanya Sprindik," papar Adi.

Adi menjelaskan, pelaporan dugaan pelanggaran etik ini dilakukan agar peristiwa OTT terhadap Kabasarnas itu menjadi terang dari sisi perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawabannya apakah telah melanggar prosedur atau sebaliknya.

Karena itu, Dewas KPK perlu melakukan audit kinerja kegiatan OTT, melalui sarana persidangan etik yang didahului pemeriksaan dan pendahuluan, sebagaimana hukum acara yang berlaku di Dewas KPK. Ia menyebut, pelaporan dugaan pelanggaran etik ini dalam rangka membantu Dewas KPK untuk memberikan sanksi, apabila terbukti adanya pelanggaran kode etik dan juga sebaliknya rehabilitasi nama baik jika pelaksanaan OTT telah sesuai prosedur.

"Apabila Dewas KPK menemukan dugaan pelanggaran etik dalam perkara aquo maka ini sebagai sarana untuk tidak terulang peristiwa yang sama dikemudian hari," ucap Adi.

Adi mengungkapkan, pelaporan ini merupakan bentuk kepedulian MAKI dalam perkara dugaan suap pengadaan barang dan jasa yang menjerat Henri Alfiandi. Sehingga, akan mendapat putusan yang adil, yaitu bersalah melakukan korupsi oleh Pengadilan yang berwenang yaitu pengadilan militer atau pengadilan koneksitas.

"MAKI tidak ingin terduga pelaku penerima suap akan dapat putusan bebas hanya gara gara kesalahan prosedur karena KPK memaksakan Tersangka dari militer dibawa ke Pengadilan Umum (Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat) sebagai akibat penyidikan dilakukan secara mandiri oleh KPK," ujar Adi.

Ia meyakini, terduga pelaku penerima suap Henri Alfiandi akan diproses hukum di Pengadilan Militer dan akan mendapat hukuman yang berat oleh hakim militer. Karena perwira tinggi TNI itu dianggap mencoreng nama baik militer.

"Kami meminta Dewas KPK untuk memerintahkan kepada Pimpinan KPK untuk membentuk tim tetap koneksitas dengan Panglima TNI dan Menteri Pertahanan, guna antisipasi dikemudian hari melakukan penindakan hukum yang terduga pelaku dari sipil dan militer. Pembentukan ini dapat berupa SKB atau MoU sebagaimana telah dilakukan oleh Kejagung," tegas Adi.

Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengungkapkan alasan pihaknya mengumumkan Kabasarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi menjadi tersangka. Keputusan mengumumkan Henri itu menjadi persoalan, karena pihak militer menyatakan status tersangka prajurit TNI hanya bisa diputuskan oleh penyidik militer.

Alex mengakui, dalam sprindik yang diberikan KPK, memang tidak ada nama dari pihak TNI. Namun, pihaknya tetap menetapkan Henri dan bawahannya, Letkol (Adm) Afri Budi Cahyanto sebagai tersangka suap, karena secara materiil sudah jelas.

“Saya bilang secara substansi. Klarifikasi ketemu wartawan kan secara substansi dan materiil (memenuhi, red),” ujar Alex di Gedung Juang KPK, Jakarta Selatan, Senin (31/7/2023).

Alex menuturkan, berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tersangka merupakan pihak yang diduga melakukan pidana berdasarkan kecukupan alat bukti.

Karena alat bukti sudah cukup, KPK menganggap secara substansi Kabasarnas dan anak buahnya layak menjadi tersangka.

Namun demikian, kata Alex, pihaknya tetap memahami bahwa secara administrasi Puspom TNI lah yang berwenang menerbitkan sprindik penetapan tersangka Kabasarnas dan Afri.

“Bukti-buktinya kan sama, buktinya sama. Entah itu dari transaksi keuangan, dari saksi-saksi pihak pemberi,” urai Alex.

Dalam kasusnya, KPK menduga, Henri Alfiandi menerima suap sebesar Rp 88,3 miliar. Suap itu diterima Henri melalui anak buahnya Koorsmin Kabasarnas RI, Afri Budi Cahyanto selama periode 2021-2023. Suap puluhan miliar itu berasal dari pengadaan barang dan jasa di Basarnas RI. Pertama, pengadaan peralatan pendeteksi korban reruntuhan dengan nilai kontrak Rp9,9 miliar. Kedua, pengadaan Public Safety Diving Equipment dengan nilai kontrak Rp17,4 miliar. Ketiga, pengadaan ROV untuk KN SAR Ganesha (Multiyears 2023-2024) dengan nilai kontrak Rp89,9 miliar.

Sumber: Jawapos.com

Editor: Eka G Putra









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook