MUI atas hukum di atas merekomendasikan pemerintah wajib menjamin ketersediaan vaksin halal untuk kepentingan imunisasi bagi masyarakat. Produsen vaksin wajib mengupayakan produksi vaksin yang halal dan mensertifikasi halal produk vaksin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemerintah harus menjadikan pertimbangan keagamaan sebagai panduan dalam imunisasi dan pengobatan.
Kemudian pemerintah hendaknya mengupayakan secara maksimal, serta melalui WHO dan negara-negara berpenduduk muslim, agar memperhatikan kepentingan umat Islam dalam hal keperluan akan obat-obatan dan vaksin yang suci dan halal. Fatwa ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika dikemudian hari ternyata memerlukan perbaikan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
MUI juga mengimbau agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya. Mengimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa yang ditetapkan di Jakarta 20 Agustus tengah malam yang dikeluarkan Komisi Fatwa melalui Ketua Prof Dr H Hasanuddin AF MA dan Sekretaris Dr H Asrorun Ni’am Sholeh MA.
Indonesia Jadi Pusat Penelitian OKI
Di bagian lain, riset mengenai vaksin terus dikembangkan. Indonesia pun telah menjadi center of excellence (CoE) untuk vaksin dan produk bioteknologi bagi negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).
Menurut data Kementerian Kesehatan, cakupan imunisasi measles rubella (MR) di luar Pulau Jawa hingga Senin lalu (21/8) mencapai 34,14 persen. Pemberian vaksin MR di luar Pulau Jawa terkendala polemik halal-haram. Pada Fatwa MUI Nomor 33 tahun 2018 pada poin ketiga, membeberkan jika vaksin MR ini diperbolehkan. Salah satu sebabnya karena belum ditemukan vaksin MR yang halal dan suci.
Usaha untuk membuat vaksin yang aman terus dilakukan. Tidak hanya pemerintah saja, namun juga para peneliti Indonesia. Seperti yang dilakukan oleh Prof Nidom Foundation (PMF). Lembaga penelitian tersebut sedang meneliti proses hulu pembuatan vaksin. ”Dekade terakhir yang menjadi isu pokok dalam penelitian adalah bahan pembawa yang bisa merugikan jangka panjang. Misalnya timbul kelainan. Isu lainnya adalah kehalalan,” kata Prof Chairul Anwar Nidom, pendiri PMF, Rabu (22/8).
Pihaknya sedang merintis penggunaan sel ikan untuk proses awal pembuatan vaksin. Sel ikan ini digunakan untuk mengganti sel dari anjing, janin, atau monyet yang dinajiskan. Vaksin yang dikembangkan bermacam-macam. Salah satunya untuk influenza. Penelitian yang dilakukan PNF menurut Nidom juga menggandeng beberapa pihak. Di antaranya adalah dari Universitas Lausanne, Swiss.
Head of Corporate Communications PT Bio Farma N Nurlaela Arief juga menjelaskan, bahwa pihaknya sedang meneliti masalah vaksin. ”Kami berupaya agar produk vaksin MR tersebut tidak menggunakan bahan yang berasal dari unsur haram atau najis dalam prosesnya,” tuturnya.(egp/lyn/jpg)