Fenomena Keris, BUMA dan Ahli Waris Kerajaan Siak
Lain Pemprov Riau dengan dinas dan BUMD-nya, lain pula elemen masyarakat, hingga lembaga adat. Upaya “merebut jatah” pun mengemuka dari Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau. Tak hanya sekadar memberikan saran adat, atau memberikan pokok pikiran seperti FKPMR, LAM Riau ingin terjun langsung merebut “jatah” pengelolaan.
Hal ini bermula pada akhir tahun lalu, ketika Ketua Dewan Pimpinan Harian (DPH) LAM Riau Syahril Abu Bakar mewacanakan akan membentuk Badan Usaha Milik Adat (BUMA). Syahril bahkan sudah merancang sebuah yayasan yang disebutnya Yayasan Keris. Nama Keris diambil dari sungai besar di Riau. Keris adalah akronim dari Kampar, Rokan, Indragiri, dan Siak. Melayu juga tak bisa dipisahkan dari keris.
Dia menyebutkan, jika diberi kesempatan terlibat dalam pengelolaan ladang migas, maka melalui Keris ini pulalah hasilnya akan disalurkan ke masyarakat terutama sektor pendidikan. Fokusnya untuk pemberdayaan. Bahkan LAMR juga menegaskan sudah memiliki mitra. Sehingga secara finansial, nanti bisa dibicarakan lebih teknis jika memang berhasil merebut pengelolaan. “Yang jelas, kalau BUMD yang dapat alhamdulillah, kalau LAM juga dapat lewat BUMA tentu luar biasa,” ujar Syahril ketika itu.
Belakangan, Keris tidak terdengar lagi. Yang justru mengemuka kini adalah Badan Usaha Milik Adat (BUMA). Lewat BUMA, LAM Riau bahkan terang-terangan melibatkan diri dalam bisnis di Blok Rokan. LAM Riau bahkan mengadakan kegiatan syukuran di Balai Adat Melayu Riau, Jalan Diponegoro Pekanbaru, Sabtu (13/2) lalu. Ketua DPH LAM Riau Datuk Syahril Abu Bakar mengatakan, syukuran tersebut dilaksanakan karena keinginan masyarakat Riau, masyarakat adat Riau untuk ikut serta bersama pihak Pertamina dalam memiliki saham Blok Rokan, mendapatkan respons yang baik.
Dia mengklaim sudah mendapatkan lampu hijau dari Pemprov Riau, Komisi VII DPR RI, bahkan juga Presiden. Bahkan Syahril mengklaim, pihak DPR RI melalui Panja Migas juga akan menfasilitasi LAMR melalui BUMA dengan PT Pertamina, SKK Migas dan PT PGN. Dalam pertemuan itu, akan dibahas mengenai keinginan LAMR terkait kepemilikan saham di Blok Rokan.
Dalam RDP Komisi VII DPR awal Februari lalu, sebenarnya bukan hanya LAMR yang diberikan kesempatan. Selain LAMR, juga FKPMR, tokoh masyarakat Riau, tentu juga Pemprov Riau. Satu pihak yang diberikan kesempatan bicara adalah Lembaga Kesultanan Siak Sri Indrapura yang merupakan wadah kekeluargaan zuriat sah Kesultanan Siak Sri Indrapura. Lembaga ini mengutus perwakilan, yakni Tengku Syed Muhammad Amin dan Tengku Muhammad Toha untuk menghadiri RDP.
Tengku Syed Muhammad Amin menyampaikan bahwa ladang minyak yang ada di Blok Rokan tersebut berada di tanah Kesultanan Siak, bukan tanah adat. Dia menyebutkan, Sultan Syarif Kasim II menandatangani kontrak pertama dengan perusahaan minyak asal Amerika Serikat, NPPM pada tahun 1930. NPPM merupakan Perusahaan patungan Standard Oil Company of California (Socal) dengan Texas Oil Company (Texaco).
Pada dekade 1970-an, NPPM berubah nama menjadi PT CPI. Tersebab Sultan Syarif Kasim telah mangkat, maka ditunjuklah Tengku Syed Ibrahim sebagai perwakilan sah zuriat Kesultanan Siak Sri Indrapura untuk ikut menandatangani perjanjian tersebut. Tengku Syed Ibrahim adalah ayah Tengku Syed Muhammad Amin. “Itu dibukukan serta terlampir di dokumen negara. Oleh sebab itu, pewaris sah zuriat Kesultanan Siak perlu dan berkepentingan untuk hadir memperjuangkan hak mendapatkan privilege pada pengelolaan WK Migas Rokan ini,” ujarnya.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Alex Noerdin menyebut, komponen masyarakat Riau diberikan kesempatan dalam mengelola Blok Rokan. Tapi dia mengingatkan, Riau harus satu suara dan kompak dalam perjuangan ini. Dia meminta lepaskan segala kepentingan diri sendiri, kelompok atau golongan. Bahkan juga harus mengenyampingkan isu yang bersifat primordialis.
“Kalau Riau mau dapat bagian yang lebih banyak dari Blok Rokan, maka syaratnya harus bersatu. Kalau masyarakat Riau tidak bersatu, maka jangan harap (bisa terpenuhi, red),” kata Alex Noerdin.