Dinilai Lamban
Peralihan Blok Rokan dari PT CPI ke Pertamina nyaris tidak ada gejolak. Terutama yang berkaitan dengan bagi hasil migas untuk daerah. Hal ini tidak seperti Blok CPP dan Blok Langgak yang justru heboh padahal ladang minyaknya kecil. Tokoh masyarakat Riau dan para pemuda Riau seperti nyaris tidak memedulikan alih kelola yang sebenarnya dapat dimanfaatkan bagi kepentingan daerah, tentunya juga bagi masyarakat Riau.
Setidaknya, berdasarkan Permen ESDM No.37/2016, sebagai pemilik wilayah, Pemprov Riau memiliki hak kelola berupa participating interest (PI) sebesar 10 persen. Wacana ini baru dibahas serius ketika akhir tahun lalu Forum Komunikasi Masyarakat Riau (FKPMR) mengeluarkan Pokpir (pokok-pokok pikiran) FKPMR tentang Pengelolaan WK Migas Rokan.
Dalam pokpir setebal sembilan halaman itu, FKPMR menyampaikan beberapa poin penting. Di antaranya, meminta pemerintah memberikan kesempatan kepada BUMD Riau dalam pengelolaan Blok Rokan (joint operation), hingga menempatkan putra Melayu Riau sebagai komisaris PT Pertamina Hulu Rokan yang akan mengelola Blok Rokan.
Wakil Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR) Hj Azlaini Agus menyebutkan Pemprov Riau lamban menyikapi perkembangan Blok Rokan. Yang harus dilakukan Pemprov Riau adalah segera mengambil langkah konkret serta kebijakan yang jelas dan terarah sebagaimana direkomendasikan oleh FKPMR dalam pokok-pokok pikiran yang telah disampaikan kepada Gubri Syamsuar setahun yang lalu.
“Menurut pandangan saya, Gubri terlalu lamban mempersiapkan segala sesuatu terkait dengan WK Rokan. Padahal isu tersebut memerlukan kesiapan dan kesigapan penuh dari Pemprov Riau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” kata Azlaini.
Di antara persiapan penting itu yakni, mempersiapkan BUMD sebagai penerima PI 10 persen. Sesuai dengan ketentuan bahwa BUMD tersebut adalah BUMD milik Pemprov Riau. Artinya saham BUMD tersebut seluruhnya atau mayoritas milik Pemprov Riau yang berasal dari APBD Provinsi Riau, bukan BUMD milik kabupaten/ kota.
Keikutsertaan BUMD sebagai penerima PI 10 persen merupakan privilege, yakni tidak perlu menyetorkan dana saham 10 persen, melainkan didahulukan atau ditanggung terlebih dulu oleh Pertamina sebagai pengelola WK Rokan menggantikan Chevron. Dana PI 10 persen tersebut kemudian dibayar kembali oleh BUMD dari penjualan minyak, bagian dari partisipasi BUMD tersebut. Hal ini, termasuk hitung-hitungannya harus dilakukan secara terbuka, transparan, akuntabel, dikontrol oleh DPRD Riau dan komponen masyarakat Riau.
"Masyarakat Riau juga seyogyanya ikut mengelola kegiatan bisnis industri migas di WK Rokan (joint operation) atau dikenal dengan istilah ‘B to B’. Untuk ini, Pemprov Riau perlu segera membentuk satu BUMD lagi selain BUMD penerima PI 10 persen,” ujar Azlaini.
Menurut Azlaini, BUMD tersebut juga memiliki hak privilege sesuai ketentuan perundangan, yakni tidak perlu mengikuti prosedur tender, atau setidaknya diberikan kemudahan dalam mengikuti tender. Hak privilege ini hanya diberikan kepada BUMD. Perusahaan yang bukan BUMD harus mengikuti persyaratan dan prosedur tender yang berlaku tanpa kecuali (capital and technology concern).
“Keikutsertaan BUMD Riau dalam joint operation ini sangat penting sebagai langkah mempersiapkan transfer manajemen dan teknologi untuk 20 tahun yang akan datang, ketika kontrak WK Rokan antara Pemerintah RI dengan Pertamina kelak berakhir,” katanya.
Untuk ikut dalam joint operation (B to B), memang perlu modal yang besar. Hak privilege yang dimiliki BUMD Riau merupakan “intelectual guarantee” untuk mendapatkan partner.
Terkait ketidakagresifan, menurutnya, yang tidak agresif untuk ikut mengelola Blok Rokan itu adalah Pemprov Riau. Masyarakat Riau yang diwakili oleh FKPMR sudah sejak setahun yang lalu menyampaikan pokok-pokok pikiran yang disusun setelah melakukan kajian terhadap seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku di sektor Migas.
Anggota DPR RI Dapil Riau I, Syahrul Aidi juga meminta Pemprov Riau lebih agresif lagi dalam upaya ambil bagian hak kelola Blok Rokan di atas PI 10 persen. Ia berharap, PT Riau Petroleum bisa mengikuti jejak dua BUMD yakni SPR dan BSP dan menambah pendapatan asli daerah (PAD). “Kita harus ikut mengelola. Jangan hanya mengandalkan DBH atau PI 10 persen saja. Kita harus ikut mengelola agar juga menjadi PAD. Apa lagi APBD kita semakin tahun semakin berkurang,” ujar Syahrul Aidi.
Ketua DPP PKS itu berharap, potensi besar Blok Rokan ini harus dijadikan untuk mengangkat martabat Riau. Terutama adalah menekan angka pengangguran yang hingga saat ini menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan.