Melindungi Anak saat Pandemi

Liputan Khusus | Jumat, 23 Juli 2021 - 08:54 WIB

Melindungi Anak saat Pandemi
GRAFIS (GRAFIS: AIDIL ADRI)

Pandemi Covid-19 membuat anak-anak rentan terpapar banyak hal. Baik virus sebenarnya, maupun "virus” impor lainnya dari ponsel pintar yang kini bebas diakses anak. Berbagai game liar kini makin akrab bagi anak. Belum lagi pengaruh virus pornografi, aplikasi tak sesuai, hingga durasi memainkan ponsel yang panjang. Semuanya membuat fisik dan mental anak terpengaruh. Siapa salah?

Laporan TIM RIAU POS,  Pekanbaru


Pandangan mata Dimas makin buram. Huruf-huruf makin tak jelas saja dalam pandangannya. Saat masih duduk di bangku kelas VII salah satu MAN di Kota Pekanbaru, kondisi matanya minus 6. Kini, setelah duduk di kelas X, saat dirinya makin intens menggunakan ponsel pintar, di masa pandemi Covid-19, minus matanya menjadi 8.

"Iya,  tambah dua jadi minus 8,” sebut putra semata wayang pasangan Dodi S ST dan Irmayusi ST ini, beberapa waktu lalu.

Dengan semakin tingginya minus matanya, tentu saja kian mengurangi kemampuan penglihatannya. Siswa unggulan di sekolahnya itu praktis hanya melepaskan kaca matanya saat mandi dan istirahat tidur.  "Ya saat mandi dan tidur saja dilepas,” ujarnya.

Selama pandemi Covid-19, aktivitas pelajar memang banyak dihabiskan di rumah.  Kondisi ini tentu saja membuat waktu dalam menggunakan ponsel pintar (smartphone) semakin banyak.  Selain dipakai untuk belajar daring, ponsel pintar juga lebih banyak dipakai untuk bermain game.

Hari-hari anak yang banyak dihabiskan memelototi ponsel pintar ternyata berakibat buruk terhadap kesehatan mata. Hal yang sama dialami Dimas yang berakibat menambah minus matanya. Kondisi ini tentu saja merisaukan orang tua Dimas.  "Saya bilang, untuk apa kamu pintar kalau matamu buta,” sebut Dodi S, orangtua Dimas menceritakan kala tahu minus mata anaknya naik dua digit usai memeriksakan mata anaknya ke dokter mata.

"Sekarang HP-nya saya sita,  tidak boleh lagi main HP. Kalau mau belajar pakai laptop,” sebut Dodi.

Lalu apa tindakan selanjutnya?  Menurut pengakuan Dodi,  anaknya saat ini menjalani terapi berupa rutin mengonsumsi buah-buahan terutama yang kaya vitamin A. Selanjutnya menyempatkan diri dalam sehari berjalan di area terbuka maupun taman atau kebun yang banyak ditumbuhi tanam-tanaman.

"Kami berharap minusnya tidak bertambah dan semoga berkurang dalam beberapa bulan ke depan,” sebut pria yang berprofesi sebagai kontraktor itu.

Anak SD pun Terpapar Video Tidak Pantas
Psikolog Aida Malika dari Humanika Psikologi Center, menyebut, masa pandemi Covid-19, anak-anak memang mau tak mau belajar online atau daring. Akhirnya anak pun menggunakan handphone (telepon seluler/ponsel) dengan durasi relatif panjang. Padahal awalnya anak menggunakan ponsel pintar untuk belajar semata. Lama-lama mereka pun ingin tahu, sehingga ada yang membuka game dan ada juga yang membuka YouTube atau searching beragam tampilan.

Begitu juga saat belajar online, kadang menggunakan zoom. Yang terjadi, kadang ada yang tidak aktif diskusi atau belajar, malah menggunakan game. Dampaknya negatif. Anak menggunakan ponsel pintar dalam waktu yang banyak, lebih dari dua jam. Kemudian saat diminta ponsel pintarnya, anak marah. Sebagian orang tua pun membiarkan anak menggunakan ponsel, yang penting anak tenang, tidak mengamuk, tidak marah dan kelakuan lainnya.

Baca Juga : Ditagih Utang

Ada beberapa dampak penggunaan ponsel berlebihan. Pertama, bermain ponsel mengurangi anak untuk bersosialisasi dengan lingkungan keluarga, tetangga dan lingkungan yang lebih luas. Salah satu dampak kurang bersosialisasi, anak pun tidak pandai berkawan, tidak bisa membangun tim dengan kawan sepermainan, dan tidak bisa bernegosiasi. Tentu ini berdampak pada diri anak kelak. Sebab anak tidak memiliki kemampuan berorganisasi. Padahal kemampuan berorganisasi itu penting bagi seorang pemimpin.

Kedua, menghambat kemampuan berbahasa anak. Tentu kecakapan berbicara juga jadi rendah. Hal ini disebabkan perbendaharaan bahasanya sangat kurang dibandingkan anak-anak yang bermain dengan tetangganya. Ada bahasa ibu, bahasa daerah yang tidak ada di internet.

Ketiga, kemampuan kemandiriannya rendah, karena tidak biasa mengurus diri sendiri. Selain itu, emosinya tidak bagus atau labil karena interaksi dengan rekan, orang tua, anak dan keluarga sangat kurang. Asyik mengurung diri di kamar. Bahkan yang mereka tonton game yang bersifat agresif seperti saling pukul, saling serang dengan senjata. Tontonan seperti ini menyebabkan emosi anak jadi tumpul. Dianggap memukul orang itu biasa saja. Di usia yang masih muda, mereka tidak bisa membedakan antara kenyataan dan fiksi, bahkan mengidolakan sosok-sosok fiksi di game.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook