JAKARTA (RIAUPOS.CO) - “Saya sebagai orang tua kini tak ragu lagi menyampaikan ke anak saya. Nak, kamu pergi ke sekolah, belajarlah yang senang, bangun pertemanan yang sehat, dan kalau ada apa-apa bisa cerita ya,” ungkap Hana Ristami, yang kedua putri dan putranya duduk di bangku SD dan SMP.
Pernyataan Hana yang juga seorang Fasilitator Ibu Penggerak bukan tanpa alasan. Ia adalah bagian dari sedemikian banyak orang tua yang sebelumnya kerap merasa khawatir tentang situasi dan kondisi sekolah yang masih rentan terjadi kekerasan.
Kecemasan serupa juga dialami Mona Ratuliu, seorang artis dan ibu dari empat anak. “Saya merasa sangat miris dengan maraknya pemberitaan tentang tindak kekerasan yang justru terjadi di sekolah,” ujarnya.
Sebuah fakta menunjukkan bahwa berdasarkan hasil Asesmen Nasional tahun 2022, 1 dari 3 peserta didik berpotensi mengalami perundungan dan kekerasan seksual serta 1 dari 4 peserta didik mengalami hukuman fisik.
Padahal, kita tahu sekolah semestinya menjadi tempat yang aman, nyaman, dan menyenangkan bagi anak-anak dalam menuntut ilmu.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pun bertanggung jawab untuk dapat melindungi anak-anak bangsa dalam memperoleh hak pendidikan yang aman dan nyaman sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang.
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 yang baru diluncurkan awal Agustus lalu, tindakan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP) diatur secara menyeluruh sehingga memberikan kejelasan apa saja yang termasuk dalam tindakan kekerasan.
Hadirnya Permendikbudristek PPKSP sekaligus menjadi jawaban atas kekhawatiran yang dirasakan para orang tua mengenai maraknya kekerasan di lingkungan pendidikan. Dalam implementasi PPKSP, sekolah dan pemerintah daerah diamanatkan untuk membuat Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) dan Satuan Tugas yang bertanggung jawab memastikan adanya tindakan pencegahan dan penanganan yang mumpuni dilakukan di sekolah maupun daerah masing-masing. Dengan adanya tindak PPKSP yang jelas, diharapkan bisa menjawab kekhawatiran masyarakat tentang situasi dan kondisi sekolah yang masih rentan terjadi kekerasan.
“Saya berharap Permendikbudristek ini bisa membawa perubahan besar terhadap keamanan di satuan pendidikan sehingga orang tua bisa tenang melepaskan anak-anaknya untuk mengenyam pendidikan demi masa depan yang lebih baik,” timpal Mona Ratuliu.
Kendati baru diluncurkan bulan lalu, sejatinya Permendikbudristek PPKSP telah melewati proses yang sangat panjang. Dalam beberapa tahun terakhir, Kemendikbudristek melibatkan hingga 5 kementerian dan 3 lembaga untuk meluncurkan sebuah regulasi yang menyeluruh demi melindungi seluruh warga satuan pendidikan dari kekerasan.
Dibandingkan regulasi sebelumnya yaitu Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, Permendikbudristek PPKSP ini memperkuat aturan mengenai adanya berbagai bentuk dan jenis kekerasan, perluasan perlindungan tidak hanya pada peserta didik tetapi juga pada pendidik dan tenaga kependidikan, serta adanya mekanisme yang jelas untuk sekolah dan pemerintah daerah, sehingga masyarakat bisa ikut mengawal pelaksanaan PPKSP tersebut.
Permendikbudristek ini telah mampu membangkitkan kesadaran bagi siapapun untuk gerak bersama menghapus kekerasan di satuan pendidikan.
Bahwasanya, tidak boleh ada lagi kekerasan dalam bentuk apapun apalagi sampai menjadi ancaman bagi warga satuan pendidikan dalam melaksanakan proses pembelajaran.
“Yang perlu kita pahami bersama adalah bagaimana kita bisa menciptakan lingkungan belajar yang inklusif, kebinekaan, aman, nyaman, dan menyenangkan agar terwujud cita-cita Merdeka Belajar,” kata Betty Nuraini, seorang guru yang juga menjabat sebagai Ketua Perhimpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Indonesia (Himpaudi).
Senada, harapan yang sama juga terlontar dari pengakuan Agen Perubahan Roots Anti Perundungan dari SMP Negeri 1 Jayapura Cheril Hutajulu. Sebagai siswa yang notabene masih usia anak, perlu mendapatkan perlindungan atas haknya sebagai diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945.
“Karena kami sebagai siswa yang masih anak-anak perlu dilindungi haknya. Kami berharap dengan adanya peraturan terkait pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah ini semua anak bisa belajar dengan aman dan nyaman,” ungkap Cheril.
Zaki Tasnim, Pelajar SMA Negeri 1 Cianjur yang didapuk sebagai Agen Perubahan Roots Anti Perundungan menggantungkan harapan yang tinggi terhadap implementasi kebijakan Permendikbudristek PPKSP. Sehingga demikian, seluruh warga satuan pendidikan akan merasa aman dari tindakan kekerasan. “Agar siswa dapat belajar dengan aman, nyaman, dan menyenangkan. Mari bersama hentikan kekerasan sekarang juga!” ujar Zaki.(adv)